Selasa, 10 Desember 2013

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

 
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

I. PENDAHULAUAN
Ilmu psikologi sangat kaya dengan berbagai macam metode yang dapat digunakan untuk menjaga dan memperbaiki kondisi mental seseorang. Namun melibatkan agama dalam ranah ilmu psikologi menjadi tawaran baru untuk memperkaya metode tersebut. Selama ini psikologi dikenal sebagai ilmu yang mapan dan tidak banyak intervensi dari disiplin ilmu lain namun justru mewarnai ilmu-ilmu lainnya. Maka memadukan agama dan psikologi menjadi sebuah paduan keilmuwan yang menarik. Demikian pula penggunaan pendekatan agama dalam rangka menjamin kesehatan mental. Agama diyakini mampu memberikan kontribusi dalam kesehatan mental tersebut, meskipun banyak sekali kritik pedas terhadap agama oleh para ilmuwan Barat.
Dalam disiplin ilmu psikologi sendiri banyak bermunculan kritik terhadap agama. Salah satu kritik paling tajam adalah pendapat tokoh psikoanalisis Sigmund Freud. Psikolog ternama asal Austria itu menganggap agama sebagai bentuk infantilisme. Artinya, ia menganggap orang yang beragama sebagai orang yang tetap kekanak-kanakan pola pikirnya karena tidak mampu hidup mandiri. Orang beragama tidak lebih sebagai orang-orang manja yang tidak mau lepas dari kasih sayang Tuhan, mereka masih ingin terus dilindungi dan takut menghadapi kenyataan hidup.[1] Namun pandangan Freud yang demikian juga dibantah sejumlah tokoh, diantaranya adalah William James yang meyakini bahwa agama adalah kebutuhan fundamental manusia, bukan sebuah bentuk regresi atau kemunduran ke masa kanak-kanak seperti yang dituduhkan Freud.[2] James memang membagi pandangan manusia terhadap agama menjadi dua macam. Dalam The Varieties of Religious Experience (1902), sebagaimana dikutip oleh Djam’annuri, James mengakui adanya “the religion of healthy mindedness” yang bersifat optimistic, jauh dari rasa bersalah, liberal dan toleran di satu sisi, serta “the religion of the sick soul” yang lebih sering diliputi rasa bersalah pada sisi yang lain.[3] Meski demikian, James tetap bersikukuh bahwa agama memainkan peran penting dalam menentukan kesehatan mental seseorang.
Makalah ini tidak bermaksud membandingkan pertarungan wacana antara Freud dan James, namun sedikit banyak memang akan membuktikan pendapat James bahwa agama menjadi kebutuhan mendasar yang menentukan bagi integritas kepribadian seseorang. Dengan kata lain, James sepakat bahwa agama sangat berperan dalam membentuk kesehatan mental manusia.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan agama dan apa pula kesehatan mental. Ditambahkan pula beberapa gangguan mental dan penyakit jiwa yang perlu ditangani dalam psikologi. Setelah itu akan dipaparkan bagaimana agama berperan dalam membentuk kesehatan mental manusia.

II. AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
a.                   Pengertian Agama
Pada dasarnya secara etimologis (akar kata) agama berasal dari kata a yang artinya tidak dan Gama yang artinya kacau. Sedangkan secara terminology (istilah) agama adalah keyakinan yang dianut oleh pemeluknya dengan kesadaran mengakui adanya realitas mutlak (ultimate reality). Hal ini sesuai dengan yang tertera dalam Encarta Ensiklopedi yang mengartikan agama sebagai sacred engagement with that which is believed to be a spiritual reality.[4]
Sedangkan menurut Frazer, agama adalah mencari keredaan atau kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia dapat mengendalikan, menahan/menekan kelancaran dan kehidupan manusia. James Martieneau, lebih melihat agama sebagai kepercayaan kepada yang hidup abadi, di mana diakui bahwa dengan pikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperbuat. Sedangkan Mattergart berpendapat bahwa agama adalah suatu keadaan jiwa, atau lebih tepat keadaan emosi yang berdasarkan kepercayaan akan keserasian diri kita dengan alam semesta.[5] Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu itu lebih tinggi dari pada manusia.
Agama menjadi penjelasan rasional dan pengaturan nilai-nilai dan kepercayaan teologis. Inti setiap agama adalah kepercayaan. Kepercayaan beragama merupakan bagian dari sekumpulan jawaban yang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau penafsiran atas kekuatan-kekuatan ghaib terhadap berbagai pertanyaan mendasar yang ditimbulkan oleh akal fikiran manusia. Kepercayaan juga dapat dikatakan penerapan konkret nilai-nilai yang kita milki.
Orang yang berpegang teguh pada pada nilai-nilai yang sama dapat saja berbeda dalam hal menerapkan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai dan kepercayaan tidak terbatas dalam agama, akan tetapi dapat juga menjadi bagian dari kepercayaan yang non-teologis atau berada diluar bidang cakupan alam gaib. Oleh karenanya kepercayaan terhadap suatu agama merupakan gejala yang mengambil tempat di dalam alam fikiran manusia.[6]
Hal senada diungkapkan oleh William James. Sebagaimana dikutip oleh Robert W. Crapps, James meyakini bahwa agama berfungsi memenuhi dimensi hidup manusia yang paling fundamental dalam perkembangan pribadi manusia terutama kebutuhan mendasar untuk mengungkapkan dan mengintegrasikan diri. Dengan demikian menurut James agama sangat bermanfaat bagi manusia dalam mencari makna hidup mereka.[7]

b.                  Pengertian Kesehatan Mental
Dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar baik antara manusia dengan manusia ataupun manusia dengan makhluk lainnya seringkali melakukan tingkah laku yang tidak wajar dan biasanya memunculkan banyak problema dan kesukaran. Bentuk-bentuk problema kelakuan yang agak menonjol biasanya sering kita kaitkan dengan  masalah kesehatan mental. Oleh karenanya manusia dan makhluk lainnya perlu melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan hidupnya sehingga terjalin interaksi yang menjamin kelangsungan dan pertumbuhan makhluk hidup (manusia). Apabila orang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, biasa dikatakan kesehatan mentalnya diragukan, akan tetapi lain halnya dengan orang yang mental/jiwanya sehat ia akan lebih mudah  berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. sebagai contoh  ketika seseorang merasa takut saat akan ada situasi yang membahayakan dirinya, maka orang ini akan lebih mudah menyesuaikan diri. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki bentuk penyesuaian diri yang wajar.
Disamping itu seseorang juga harus sanggup menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Misalnya menghadapi perubahan udara, perubahan jenis makanan, adanya bencana,dan sebagainya. Karena apabila tidak terbiasa dengan kondisi seperti itu orang akan lebih mudah mengalami ganguan mental  misalnya, stress, tekanan perasaan, pertentangan batin, sakit jiwa dan frustarsi. Dari pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa kesehatan mental ialah keserasian yang sempurna atau integrasi antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam macam, disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan jiwa yang ringan, yang biasa terjadi pada orang, disamping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan dirinya.[8]
Jalaludin memberikan definisi tersendiri tentang kesehatan mental (mental bygiene). Menurutnya kesehatan mental adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi rohani.[9] Pengertian yang lebih rinci diberikan oleh Zakiyah Daradjat. Ia menjelaskan bahwa kesehatan mental dapat dipahami sebagai kemapuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Kesehatan mental juga dapat diartikan dengan terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurosis) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychosis). Selain itu, senada dengan Jalaludin, Zakiyah Daradjat juga menambahkan bahwa kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta terhindar dari  gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.[10]
Disini dapat dikatakan bahwa kesehatan mental hampir sama dengan kesehatan jasmani, dimana keserasian yang sempurna antara bermacam-macam fungsi jasmani, hampir tidak ada. Hanya derajat keserasian itulah yang menunujukan itu dapat dikatakan sakit atau sehat. Demikian pula dengan derajat fungsi-fungsi jiwa yang dapat membedakan antara sehat atau tidaknya mental seseorang.
Tidak seorangpun yang tidak ingin menikamati ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup, terkait fungsi-fungsi jiwa yang dimiliki tetap berjalan dengan baik. Dan semua orang akan berusaha mencarinya, meskipun tidak semua keinginan dapat tercapai. Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi, sehingga banyak orang yang mengalami kegelisahan, kecemasan dan ketidakpuasan.
Sebenarnya ketenangan hidup, ketenangan jiwa atau kebahagiaan batin, tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial. politik, ekonomi maupun adat istiadat. Akan tetapi lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut. Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, psimis atau apatis, karena ia dapat menghadapi semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar dan menerima kegagalan itu sebagai suatau pelajaran yang akan membawa sukses dikemudian hari. [11]

c.    Mental yang Tidak Sehat
Gagalnya menjaga kesehatan mental dapat berakibat pada munculnya dua hal, yaitu gejala gangguan jiwa (neurosis) dan penyakit jiwa (psychosis). Istilah neurosis pertama kali diperkenalkan oleh ilmuan Inggris, William Cullen pada tahun 1769. Semula diyakini bahwa neurosis terjadi karena adanya gangguan dalam sistem syaraf. Namun Sigmund Freud memprotes pendapat itu dan menyatakan bahwa neurosis terjadi karena konflik batin. Kaum behavioris beda lagi, mereka lebih meyakini bahwa neurosis diakibatkan oleh cara belajar yang keliru dalam menghindari kecemasan.[12]
Keabnormalan yang terjadi pada seseorang yang mengalami gangguan jiwa itu terlihat dalam bermacam-macam gejala diantaranya: ketegangan batin (tension), rasa putus asa dan murang, gelisah/cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa (compulsive), hysteria, rasa lemah, takut dan sebagainya.   Contoh dari gangguan-gangguan jiwa tersebut adalah:
a)    Neurasthenia
Ganguan jiwa ini lebih dikenal oleh banyak orang sebagai penyakit saraf, yang dulu disangka terjadi karena lemahnya saraf. Penyakit ini juga sering disebut penyakit payah, karena orang yang diserang akan merasa atau mempunyai ciri-ciri seluruh badan letih, tidak bersemangat, lekas merasa payah walaupun sedikit tenaga yang dikeluarkan. Perasaan tidak enak, sebentar-bentar ingin marah dan suka menggerutu serta apatis, sangat sensitif dengan cahaya dan suara yang menyebabkan tidak bisa tidur.[13]

b)   Hysteria
Pada awal mulanya jenis penyakit ini hanya di kenal bahwa yang dihinggapi hanya kaum wanita, akan tetapi pendapat itu berubah setelah Freud menemukan bahwa laki-lakipun dapat terkena penyakit ini. Cirri-cirinya antara lain: kesukaran-kesukaran tekanan perasaan, kegeliahan, kecemasan dan pertentangan batin. Sedangkan gejala ciri-ciri fisiknya adalah lumpuh hysteria (lumpuhnya salah satu anggota fisik), cramp hysteria (disebabkan oleh tekanan perasaan), kejang hysteria ( badan kaku), dan mutsim (hilang kesnggupan berbicara). Dan yang termasuk  dalam gejala yang berhubungan dengan mentalnya antara lain: hilang ingatan (amnesia), keperibadian kembar (duble personality), mengelana secara tidak sadar (fugue) serta jalan-jaaln ketika sedang tidur ( somnambulism).[14]
c)    Psychasthesia
Psychatesia adalah semacam gangguan jiwa yang bersifat paksaan, yang berarti kurangnya kemampuan jiwa untuk tetap dalam keadaan integrasi yang normal. Gejala-gejala penyakit ini antara lain: phobia adalah rasa takut yang tidak masuk akal, atau yang ditakuti tidak seimbang dengan ketakutan. Maksudnya adalah bahwa si sakit tidak tahu mengapa ia takut dan tidak dapat menghindari rasa takut itu. Obsesi yaitu gangguan jiwa dimana si sakit dikuasai oleh suatu pikiran yang tidak bisa dihindarinya. Kompuls yaitu gangguan jiwa yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu baik masuk akal atau tidak.


d)   Gagap berbicara (stuttering)
Merupakan gangguan jiwa yang ketika berbicara dalam bentuk putus-putus, tertahan nafas atau berulang-ulang.
e)    Ngompol (buang air kecil yang tidak disadari)
f)    Kepribadian psychopathi
Psychopathi merupakan ketidaksanggupan seseorang dalam menyesuaikan diri yang dalam dan kronis. Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa seperti ini biasanya menimpakan kesalahan yang dibuatnya kepada orang lain.
g)    Keabnormalan seksual
Gejala-gejala yang sering dialami adalah: Onani (mastrubasi), orang yang diserang gejala ini mencari kepuasan seksual dengan anggota tubuhnya secara berlebihan atau tidak wajar, yang biasanya dilakukan dalam periode tertentu dalam hidupnya. Homo seksual, orang yang diserang gejala ini berkeinginan untuk  berhubungan dengan orang yang sejenis saja. Dan yang ketiga adalah Sadsism, gejalanya disebabkan oleh adanya rasa ketidakpuasan seksual, kecuali apabila ia dapat menimbulkan kesakitan (fisik atau perasaan) terhadap orang yang dicintainya. Bahkan mungkin memukul, melukai atau membunuh orang yang dicintainya demi kepuasan  seksualnya.[15]
Psychosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh keperibadian yang terganggu, dan disebabkan juga oleh kurang mampunya seseorang dalam menyeseuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya. Sakit jiwa ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: pertama, yang disebabkan oleh adanya kerusakan anggota tubuh, misalnya otak, sentral saraf atau hilangnya kemampuan berfikir. Kedua, disebabkan oleh gangguan jiwa  yang telah berlarut-larut. Diantara penyakit jiwa yang terkenal adalah Schizophernia (banyak diderita oleh orang yang berumur antara 15-30 tahun) dengan gejala-gejala: dingin perasaan, banyak tenggelam dalam lamunan yang jauh dari kenyataan, mempunyai prasangka-prasangka yang tidak benar, sering terjadi salah tanggapan atau terhentinya pikiran, hallusinasi pendengaran, banyak putus asa dan merasa bahwa ia adalah korban kekerasan, dan timbulnya keinginan untuk menjauhkan diri dari masyarakat[16]
Guna menghindari terjadi gangguan-gangguan jiwa ataupun sakit jiwa maka diperlukan pendekatan agama pada diri seseorang, karena agama bisa memberikan pengaruh terhadap  kesehatan mental.

III. PENGARUH AGAMA TERHADAP KESEHATAN MENTAL
Arti penting agama bagi kesehatan mental sudah banyak diakui, berdasarkan hasil penelitian yang disebutkan oleh Jalaludin Rahmat diketahui sejumlah besar penduduk Amerika (20-40%) mengatakan bahwa agama ialah salah satu faktor penting yang membantu mereka mengatasi hidup yang penuh stress. Dia juga menyebutkan bahwa pengunjung gereja atau sinagog (tempat ibadah Yahudi) yang rajin 40-50% lebih aman dari resiko depresi, bunuh diri, kecanduan alkohol dan zat adikitif. Selain itu mereka juga merasa lebih bahagia.[17]
Data diatas menegaskan bahwa agama memang sangat berperan dalam membentuk kesehatan mental manusia. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram. Dalam istilah kedokteran sering dikenal sebagai Psikosomatik (kejiwabadanan) yaitu bahwa terdapat hubungan yang erat antara rohani dan badan bahkan mungkin keduanya sangat sulit untuk dipisahklan.
Begitu pula hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap kekauasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah semacam ini dapat memberi sikap optimis sehingga muncul perasaan positif seperti rasa bahagia, rasa senang, puas, merasa dicinta dan mencitai serta terdapat rasa aman.
Setiap agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk melaksnakan ajaran agamanya secara rutin, tunduk patuh terhadap perintah Tuhannya.  Karena pada dasarnya orang yang tidak merasa tenang, aman serta terancam dalam dirinya adalah orang yang sakit rohani dan mentalnya, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya kebutuhan spitritual dalam dirinya sehingga akan cenderung lebih jauh dengan Tuhannya. Setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu yang diperlukan untuk melangsungkan proses kehidupan secara lancar. Kebutuhan-kebutuhan itu dapat berupa kebutuhan jasmani, rohani, maupun kebutuhan sosial.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesehatan mental adalah kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman, nyaman dan tentaram. Upaya untuk mendapatkan ketenagan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri sepenuhnya kepada Tuhan (regisnasi).[18] Dalam Al-Quran petunjuk yang berkenaan dengan ketenangan dan kebahagiaan, salah satunya tertuang dalam Firman Allah Q.S Al-Qashash:77) yang artinya:” Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) duniawi dan berbuat baik (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat kepada dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesengguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Pada ayat lainnya juga disebutkan:
“Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (Q.S Ar-Ra’ad:29)
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang beriman dan yang beramal shalih adalah orang yang beragama. Selain adanya kebahagiaan dan ketenangan, Tuhan juga menguji umatnya dengan cobaan-cobaan yang di berikan kepada manusia separti adanya musibah dan kematian, manusia dituntut untuk selalu tabah, sabar, dan menerima dengan ikhlas karena Tuhan tidak akan memberi cobaan kepada umatnya tanpa sesuai dengan kemampaun unmatnya. Dan apabila manusia tidak bisa menerima kenyataan bahwa adanya musibah atau kematian merupakan bentuk ujian Tuhan maka mungkin saja ia bisa mendapat ganguan jiwa hal, ini disebabakan karena mentalnya mudah tergoyahkan. Oleh karena agama sangat diperlukan dalam kondisi seperti ini maka secara otomatis manusia akan memikirkan hikmah yang telah terjadi dengan cobaan itu.
Kematian adalah sebuah keniscayaan artinya manusia hanyalah bentuk ciptaan Allah yang memiliki kesempatan hidup sangat terbatas. Kematian tidak perlu diminta dan ia akan datang dengan sendirinya dan tidak perlu mendaftarkan atau mencalaonkan diri. Mau tidak mau malaikat Jibril akan menjemput dengan sendirinya sesuai perintah Allah. Saat nyawa ditarik dari peredarannya kemakhlukan manusia  pun beralih status “mati” kematian membawa manusia ke alam baru. Dan setiap orang pasti akan mengalaminya.
Siklus perjalanan manusia dapat diibaratkan garis sisi pada sebuah trapezium. Proses pertumbuhan fisik ikut mendominasi pembentukan sikap mental. Setelah mencapai tingkat kedewasaan, pertumbuhan fisik sudah mencapai puncaknya. Manakala rentang pertumbuhan manusia telah berakhir, manusia memasuki usia lanjut. Secara psikologis, manusia usia lanjut terbebankan oleh rasa “ketidakberdayaan’. Kelemahan fisik, keterbatasan gerak , dan menurunnya fungsi alat indra yang menyebabakan manusia usia lanjut merasa terisolasi. Mulai terasa adanya kekosongan batin, disinlah nilai-nilai spiritual mulai jadi perhatian. Kekosongan batin akan kian terasa bila dihadapakan pada peristiwa-peristiwa kematian. Nilai-nilai ajaran agama menyadarkan manusia akan status diri mereka. Menyadarkan manusia selaku makhluk ciptaan Tuhan. Hidup dan kehidupannya tergantung pada Sang Pencipta.
Sikap batin seperti ini menurut Prof. Muhammad Mahmud Abdul Kadir sebagaimana dikutip oleh Jalaludin, akan memberikan pengaruh Psikologis.  Secara materi, kematian adalah proses kehancuran tubuh. Namun manusia bukanlah makhluk fisik yang serba materi. Dalam diri manusia terkandung unsur-unsur non-materi,yaitu mental spiritual. Saat-saat seperti itu, nilai-nilai fitri manusia muncul seakan mengadili dirinya. Bagi penganut agama, sikap dalam menghadapi kematian lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai imani yang terdapat dalam diri dan jiwa manusia itu sediri. [19]
Dengan demikian agama menjadi kebutuhan manusia, menurut Robert Nuttin, dorongan beragama dalam diri manusia sama halnya dengan dorongan-doringan lainnya seperti makan, minum, intelek dan lain sebgainya. Dalam ajaran agama Islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan dibekali dengan berabagai potensi (fitrah). Yang dibawa sejak lahir. Anak yang baru lahir sudah memiliki potensi menjadi makhluk yang ber-Tuhan. Fitrah disini mempunyai arti “sifat yang mensifati segala yang ada pada saat selesai diciptakan.”
Fitrah manusia itu dapat dilihat dari dua segi yaitu: pertama, segi naluri sifat pembawaan manusia atau potensi tauhid yang menjadi potensi manusia sejak lahir. Kedua, dapat dilihat dari segi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabiNya. Dalam fitrah tidak terdapat komponen psikologis apa pun, karena fitrah diartikan sebagai kondisi jiwa yang suci, bersih yang reseptif terbuka kepada pengaruh eksternal. Karena adanya fitrah ini manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama. Manusia merasa bahwa jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang MahaKuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Mereka akan merasakan ketenangan dan ketentraman di kala mereka mendekatkan diri dan mengabdi kepada Yang MahaKuasa Tuhan Yang Maha Esa.[20]




IV. PENUTUP
Agama sebagai proses hubungan manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi memberikan pengaruh pada kondisi mental manusia. Terkadang manusia goyah dengan keadaan mentalnya sehingga dapat mengarah pada gejala neurosis maupun psikosis jika ia berada pada posisi yang sulit dan tidak menemukan jalan keluar. Untuk itu berbagai cara diterapkan guna membantu manusia, baik melalui metode psikologi maupun pendekatan keagamaan. Pada tataran ini, agama difungsikan sebagai alat dalam proses menuju tercapainya kondisi mental yang sehat.
Selain itu agama juga dapat dijadikan sebagai alat untuk  menyadarakan para pemeluknya bahwa dalam menjalani kehidupan ini banyak rintangan dan cobaan. Sehingga diantaranya  yang dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan kondisi mental seseorang adalah Agama. Agama merupakan bentuk spiritual yang luhur dipercaya dapat memberikan ketenangan jiwa ataupun mental bagi pemeluknya. Karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang mampu memberikan kekuatan, kepercayaan, ketenangan, ketentraman dan tempat berlindung dari segala macam bentuk persoalan-persoalan yang bisa membuat kesehatan mental seseorang menjadi terganggu atau tidak sehat. Artinya sesorang yang semakin religious dalam memahami agamanya maka makin sehatlah keadaan mentalnya.






DAFTAR PUSTAKA


Crapps , Robert W, Dialog Psikologi dan Agama sejak W. James sampai Gordon W. Allport, Yogyakarta: Kanisius, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar