Rabu, 18 Desember 2013

HUKUM NIKAH BEDA AGAMA


HUKUM NIKAH BEDA AGAMA


Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.


Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekat geografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang di Indonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudah kerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikah dengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamak terjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun tak pantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matang menikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yang non-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.

Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasi meniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama, melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantor modern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik seperti mall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekat primordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebook dan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul dengan yang segama.

Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandangan berbeda. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak direstusi Tuhan. Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah gelap. Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus merujuk Sabda bahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan yang harus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkan pada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukan kepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopiah, tapi peci lah yang mesti mengikuti besar-kecilnya kepala.

Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka, nikah beda agama tak mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitu saja. Sebab manusia bebas dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukan pilihan pasangan dalam keluarga. ”Dalam dunia yang terus mengarah pada kesederajatan agama-agama, kita tak mungkin memandang agama orang lain sebagai gelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus terus ditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.


Agumen Teologis Islam

Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalam tiga kelompok. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalah al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarang orang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurut kelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik, menurut mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan oleh satu ayat yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”, ”kafir” dan ”Ahli Kitab” adalah sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisa membatalkan yang lain.

Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab. Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibn Khattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal dari Khuza’ah. Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah dengan Ahli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga perempuan-perempuan Islam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar tak mengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan Ahli Kitab.

Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang bersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanya kepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya, jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dan kewaspadaan.

Kedua, ulama yang berpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah dibatalkan QS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan Ahli Kitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turun di Madinah. Akan tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 221) lebih awal turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga (al-Ma'idah ayat 5). Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali bin Abi Thalhah berkata bahwa perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan dari al-Baqarah ayat 221. Dengan perkataan lain, keharaman menikahi orang musyrik dan orang kafir seperti tertera dalam al-Baaqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10 telah ditakhshish (dispesifikasi) oleh al-Maidah:5.

Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin
Aslam, dan Rabi’ bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orang Watsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukan nikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkan dengan perempuan Yahudi
Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslimah menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab dan pernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab. Menurut kelompok terakhir ini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab.

Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim tak terbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan nikah beda agama justru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam, 70 % lebih agama anak mengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan bagi saya. Sebab, peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam soal agama. Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari agama si ibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arab berkata, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).

Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan pada alasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abu al-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena ia dilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilih menjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketika Nabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sang istri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abu al-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangi umat Islam. Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atas keterlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusan dan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.

Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu, Zainab hidup terpisah dengan Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini mengisyaratkan bahwa pernikahan Zainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam adalah sah sehingga tak perlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkan dua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah binti Muhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.

Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. Abu Lahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-lakinya menikah dengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya Abu Lahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akan tetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islam seperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.


Bagaimana di Indonesia?

Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendirian sejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukan Islam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1 Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut. Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agama si suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinan tendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melalui pernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karena banyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanya masing-masing.

Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkan sokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintah melarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal 40 disebutkan, “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan dua ayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarang melangsungkan pernikahan dengan orang yang tak beragama Islam.

KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan hanya sebuah Inpres. Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam menikahkan para laki-laki dan perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai para hakim agama dalam mengatasi persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengan kenyataan ini, para pelaku nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum yang menjamin dan melindungi pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI telah ikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang mau menikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampas hak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atau istri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukan menentukan pasangan dalam pernikahan. []

METODE TAHLILI DAN STUDI KASUS TAFSIR AL-MISBAH


Pengenalan Penafsiran dengan Metode Tahlili

Banyak cara pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila ditelusuri satu persatu. Untuk itu agaknya akan lebih mudah dan efisien bila bertitik tolak dari pandangan al farmawi yang membagi metode tafsir menjadi empat macam metode yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, Mawdhu’iy.[1]

A.    Pengertian Metode Tahlili

Tafsir Tahlili (analisis) ialah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan susunan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode ini, menganalisis setiap kosakata atau lafal dari aspek bahasa dan makna. Analisis dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat, ijaz, badi’, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah, dan lain sebagainya. Dan dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, akidah, moral, perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah, dan lain sebagainya.[2]
Penafsir juga membahas mengenai sabab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula tercampur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut.[3]
Metode tahlili merupakan cara yang dipergunakan oleh para musaffir klasik masa lalu. Di antara buku tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah tafsir Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Jarir, dan lain sebagainya.[4]
Para penafsir tahlili ini ada yang bertele-tele dengan uraian panjang lebar, dan sebaliknya ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Selanjutnya, mereka juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang aneka ragam.[5]


B.     Pembagian Metode Tahlili

Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode Tahlili ini dapat dibedakan kepada :

1.      Al-Tafsir bi al-Ma’tsur

Al-Tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadist Nabi SAW, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh rentang zaman dari masa Nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat Al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang. Periodesasi perkembangan Al-Tafsir bi al-Ma’tsur ini ada dua periode atau tahapan:[6]
·         Periode Lisan
Periode ini lazim disebut periode periwayatan ( ). Pada periode ini, para sahabat mengambil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau oleh sahabat dari sahabat, atau oleh tabi’in dari sahabat, dengan cara pengambilan yang dapat dipercaya, teliti, dan memperhatikan jalur periwayatannya. Cara semacam ini berlangsung sampai periode berikutnya dimulai.[7]
·         Periode Tadwin (Kodifikasi-penulisan).
Pada periode ini, Tafsir bi al-Ma’tsur, yang proses pengambilannya pada periode pertama, dicacat dan dikodifikasikan. Pada mulanya kodifikasi tersebut dimuat didalam kitab-kitab hadist. Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir tafsir bi al-ma’tsur lengkap dengan jalur sanad yang sampai kepada Nabi SAW, kepada para sahabat, tabi’in, dan tabi’i al tabai’in. Kitab-kitab tafsir yang memuat materi Tafsir bi al-Ma’tsur ini antara lain :[8]
ü   جامع ا لبيا ن فى تفسير ا لقرا ن ا لكريم, oleh Ibn Jarir al-Thabary (w. 310 H).
ü   تفسير ا لقرا ن ا لعظيم, Ibn Katsir (w. 774 H)

2.      Al-Tafsir bi al-Ra’yi

Al-Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan hal-hal lainnya yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.[9]
Corak Tafsir bi Al-Ra’yi ini ada yang diterima dan ada pula yang ditolak. Tafsir bi al-Ra’yi ini dapat diterima sepanjang penafsirannya memenuhi syarat-syarat, dan selama penafsiran tersebut menjauhi lima hal berikut ini:
Ø  Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah di dalam kalam-Nya, tanpa memiliki persyaratan sebagai penafsir.
Ø  Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.
Ø  Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
Ø  Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan mazhab semata, dimana ajaran mazhab dijadikan dasar utama sementara tafsir itu sendiri dinomorduakan, sehingga terjadilah berbagai kekeliruan.
Ø  Menghindari penafsiran pasti (qath’i), dimana seorang penafsir, tanpa alasan, mengklaim bahwa itulah satu-satunya maksud Allah.[10]

Demikian, selagi seorang penafsir menjauhi kelima hal diatas dan niatnya ikhlas semata-mata karna Allah serta untuk mendekatkan diri kepadanya-Nya, maka tafsir dan ide-idenya dapat diterima. Diantara kitab-kitab tafsir “bi al-Ra’yi” ini adalah sebagai berikut:
§  مفا تيح ا لغيب , oleh al-Fakhr al-Razi (w. 606 H).
§   ا نوا ر ا لتنزيل وا سرا ر ا لتاء ويل, oleh al-Baidhawy (691 H).
§   مدا رك التنزيل وحقا تق ا لتاء ويل, oleh al-Nasafy (w. 701 H).
§   لبا ب ا لتاءويل فى ا لتنزيل, oleh al-Khazin (w. 741 H).
§   ا رشا د ا لعقل ا لسليم الى مزا يا ا لكتب  ا لكريم, oleh Abu al-Su’ud (w. 982).[11]

3.      Al-Tafsir al-Syufy

Seiring dengan semakin meluasnya cakrawala budaya dan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Tasawuf pun berkembang dan membentuk kecenderungan para penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh didalam penafsiran Al-Qur’an Al-Karim.

a.       Tashawuf Teoritis ( ا لتصوف ا لطر ى )

Para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka berupaya maksimal untuk menemukan, didalam al-qur’an tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori dan ajaran mereka. Sehingga mereka tampak terlalu berlebih-lebihan didalam memahami ayat-ayat dan penafsirannya sering keluar dari arti zhahir yang dimaksudkan oleh syara’ dan didukung oleh kajian bahasa. Penafsiran yang demikian ditolak dan jumlahnya sedikit.[12]

b.      Tashawuf Praktis ( ا لتصوف ا لعملى )

Yang dimaksud dengan Tashawuf Praktisi adalah Tashawuf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud, dan melibatkan diri di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti zhahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang dimaksudkan.[13] Diantara kitab-kitab tafsir Tashawuf Praktis ini adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim, oleh al-Tusturi (w. 383 H); Haqaiq al-tafsir, oleh al-Salami (w.412 H), dan ‘Araisy al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karya al-Syairazi (w. 606 H).


4.      Al-Tafsir al-Fiqhi

Berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al-Ma’tsur al-Tafsir al-Fiqhi, dan sama-sama dinukil dari Nabi SAW tanpa pembedaan antara keduanya. Para sahabat setiap menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang dikandung oleh al-Qur’an langsung bertanya kepada Nabi, dan beliau langsung menjawab. Jawaban Rosulullah ini, di satu pihak adalah Tafsir bi al-Ma’tsur dan, di lain pihak, sekaligus sebagai tafsir al-Fiqhi. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat langsung mencari keputusan hukum dari al-Qur’an dan berusaha menarik kesimpulan hukum syariah berdasarkan ijtihad; hasil ijtihat mereka ini disebut al-Tafsir al-Fiqhi. Demikian pula halnya yang terjadi dimasa dan dikalangan para tabi’in.[14]
Al-Tafsir al-Fiqhi ini terus tumbuh dan berkembang pesat bersama berkembang pesatnya ijtihad. Hasilnya terus berkembang dan bertambah serta disebar luaskan dengan baik, jauh dari tendensi hawa nafsu dan berbagai kepentingan. Suasana semacam ini berlangsung sejak turunnya al-Qur’an sampai masa munculnya berbagai mazhab fikih.[15] Pada masa lahirnya mazhab fikih yang empat dan lainnya, banyak muncul masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya dari ulama terdahulu karena hal tersebut belum pernah terjadi dizaman mereka, maka para imam di zaman ini terpaksa harus memecahkan persoalan-persoalan baru tersebut dengan merujuk langsung pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta sumber hukum lainnya, kemudian mereka menarik kesimpulan hukum yang dirasa kuat menurut nalar mereka, dan meyakininya sebagai hukum yang benar yang didukung oleh dalil-dalil dan bukti-bukti.
Didalam perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut pempunyai banyak pengikut. Sebagian dari mereka ini adalah yang sangat fanatik, yang menatap ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka itu ada pula yang obyegtif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari tendensi dan kepentingan mazhab mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa adanya sesuai dengan kesan nalar mereka.[16]
Oleh karenanya, kita menemukan beberapa karya Tafsir al-Fiqhi dikalangan Ahl al-Sunnah, yang semula obyeknya namun kemudian terpengaruh juga oleh fanatisme mazhab. Dikalangan mazhab al-Zhahir terdapat pula Tafsir al-Fiqhi yang berdasarkan kepada pengertian zhahir ayat-ayat al-Qur’an, tidak lebih dari itu. Sementara kaum khawarij mempunyai Tafsir al-Fiqhi tersendiri bagian mereka. Begitu pula kaum Syiah, mereka mempunyai Tafsir al-Fiqhi yang berbeda dengan tafsir mazhab lain. Masing-masing mazhab tersebut berusaha menafsirkan dan menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga dapat dijadikan dasar penguat bagi atau, setidak-tidaknya, tidak bertentangan dengan mazhabnya. Hal ini membuat sebagian dari mereka sering berlebih-lebihan di dalam menta’wilkan ayat-ayat, sehingga  keluar dari makna dan maksud yang dikandung oleh lafazh-lafazh al-Qur’an itu sendiri.[17]
Al-Tafsir al-Fiqhi ini tersebar luas di celah-celah halaman berbagai kitab fikih yang dikarang oleh tokoh berbagai mazhab. Terutama setelah masa kodifikasi, banyak ulama menulis karya tafsir semacam ini sesuai dengan pandangan mazhab mereka. Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak fiqhi ini adalah:

- احكا م ا لقر ا ن , oleh al-Jash-Shash (w. 370 H).
- ا حكا م ا لقران , karya Ibn al-Arabi (w. 543 H).
- الجا مع لا حكا م ا لقرا ن , oleh al-Qurthuby (w. 671).[18]


5.      Al-Tafsir al-Falsafy

Sebagian telah disinggung bahwa latar belakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena tersebar luasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmudan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan dimasa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku falsafah karya para filosof Yunani. Tapi tidak ada karya tafsir Falsafy yang lengkap.[19]
Tokoh-tokoh islam yang membaca buku-buku tersebut terbagi kepada dua golongan. Pertama, golongan yang menolak falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang falsafat dan berupaya menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Imam al-Ghazali dan al-Fakr al-Razi. Tokoh yang disebut terakhir ini, di dalam karya tafsirnya, membeberkan ide-ide falsafat yang dipandang bertentangan dengan agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak falsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai. Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima falsafat, meskipun didalamnya terdapat ide-ide yang bertentangan dengan nash-nash syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkirkan segala pertentangan. Namun usaha mereka belum mencapai titik temu yang yang final, melainkan masih berupa usaha pemecahan masalah secara setengah-setengah; sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori-teori falsafi, yang di dalam banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.[20]
Di antara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasar corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak falsafat adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghoib, oleh al-Fakhr al-Razi(w. 606 H). Sedangkan dari golongan kedua nampaknya tidak ada, Dr. Al-Zahabi berkomentar, kami tidak pernah mendengar bahwa di antara filosof itu ada yang mengarang sebuah kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap; semua yang  kami temukan tidak lebih dari sebagian pemahamanterhadap al-Qur’an secara parsial yang termuat di dalam kitab-kitab falsafat yang mereka tulis.[21]
6.      Al-Tafsir al-Falsafi Al-Tafsir al-‘Ilmi

Ajakan al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari tahayul dan  kemerdekaan berfikir. Al-Qur’an menyuruh umat manusia memperhatikan alam. Allah SWT di samping menyuruh kita memperhatikan wahyuNya yang tertulis, sekaligus menganjurkan kita agar memperhatikan wahyuNya yang tampak, yaitu alam. Karena inilah, kita menemukan banyak ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan kalimat, seperti yang terdapat di dalam firman Allah Ta’ala(( قد فصلنا الا يا ث لقو م يعلمون, ( لقو م يفقهون), dan ( لقو م يثفكرون).[22]
Meskipun ayat-ayat kawniyah itu secara tegas dan khusus tidak ditujukan kepada para ilmuan, namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti dan memahami ayat-ayat kawniyah tersebut, karena mereka mempunyai sarana dan kompetensi untuk itu dibanding tokoh-tokoh bidang ilmu lainnya. Kiranya, tak seorangpun yang mampu mengetahui dan merasakan keindahan bahasa kecuali para ahli balaghah, dan tak seorangpun yang dapat membedakan permata yang berharga dari lainnya kecuali orang yang sangat berpengalaman. Manakala para ulama menyadari hal yang demikian, maka sebagian dari mereka mencoba menafsirkan ayat-ayat kawniyah tersebut berdasakan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam. Akan tetapi, penafsiran mereka terhadap ayat-ayat kawniyah tersebut masih terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dari ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama. Di antara para ulama terdahulu yang gigih mendukung corak al-Tafsir al-‘Ilmi ini adalah:
Ø  Al-Imam al-Fakhr al-Razi, melalui kitab tafsirnya yang besar, Mafatih al-Ghaib.
Ø  Al-Imam al-Ghazali, melalui kitabnya Ihya ‘ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an.
Ø  Al-Imam al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan.

Meskipun sebagian ulama ada yang menolak, karya-karya tafsir corak ini mulai bermunculan, dan mendapat perhatian besar dari para peneliti dan ilmuan.[23]

a.       Sikap Sebagai Ulama Terhadap Tafsir ‘Ilmi

Sampai sekarang, corak al-Tafsir al-‘Ilmi belum dapat diterima oleh ulama. Mereka menilai penafsiran al-Qur’an semacam ini keliru, sebab Allah tidak menurunkan al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berbicara tentang teori-teori ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, kajian al-Tafsir al-‘Ilmi dinilai keliru karena para penafsir dicap terlalu berlebih-lebihan di dalam menta’wilkan ayat-ayat tanpa ada rasa kagum akan aspek kemukjizatan ayat dan tanpa perasaan yang benar dan sehat.[24] Para pendukung al-Tafsir al-‘Ilmi ini seyogyanya menyadari bahwa al-Qur’an, untuk kemuliaan dan keagungannya, tidak memerlukan dukungan dari sikap yang berlebih-lebihan semacam ini yang tidak diragukan lagi, justru akan menyeret al-Qur’an tersebut keluar dari tujuan kemanusiaannya semula, yaitu untuk memperbaiki kehidupan dan membersihkan jiwa, untuk kembali kepada Allah Ta’ala.
Ada banyak faktor yang menyebabkan sebagian ulama bersikap keras menolak al-Tafsir al-‘Ilmi ini. Di antara yang terpenting, demikian menurut al-Ustazd Ahmad Hanafi, adalah adanya warisan akidah yang berakar kuat didalam benak umat bahwa al-Qur’an itu semata-mata sebagai petunjuk dan penuntun bagi kehidupan manusia, tidak ada hubungannya dengan prinsip dan teori-teori ilmu alam. Adapun pembicaraan Al-Qur’an tentang fenomena-fenomena alam itu tidak perlu dipahami secara mendalam, melainkan cukup sekedar memikirkan dan merenungkannya dalam arti biasa.[25]
Sebagian ulama tidak mengakui adanya suatu ilmu yang menjelaskan fenomena-fenomena alam didalam al-Qur’an sehingga, karena sifat semacam ini, mereka tidak memiliki kunci metodologi pembahasan.[26] Ketahuilah, metode tersebut sebenarnya ada, yaitu menghimpun ayat-ayat yang terpisah-pisah di berbagai surat, dan menyusunnya secara utuh menurut pokok-pokok permasalahannya, dan kemudian membahasnya secara sempurna dan tuntas.

b.      Pembahasan al-Tafsir al-‘Ilmi

Meskipun terdapat berbagai kendala dan rintangan serta tantangan, nampaknya masih ada tokoh-tokoh ulama kontenporer yang berminat melakukan kajian al-Tafsir al-‘Ilmi untuk menyingkapi makna ayat-ayat kawniyah. Tokoh ulama yang dimaksud antara lain:
o   Al-Ustazd Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawi. Didalam kitabnya, Sunanullah al-Kawniyah, dia telah mengemukakan pembahasan panjang lebar mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang menunjuk kepada masalah meteorologi.
o   Al-Ustazd Dr. Abd al-Aziz Ismail. Didalam karyanya, al-Islam wa al-Thib al-Hadist, tokoh ini menafsirkan sebagian ayat-ayat kawniyah secara ilmiah seraya mengungkapkan aspek-aspek kemukjizatannya.
o   Al-Syekh Thanthawi Jauhari. Melalui kitab tafsirnya yang tebal, beliau telah mengemukakan pembahasan mengenai berbagai macam ilmu yang disyaratkan oleh ayat-ayat kawniyah. Andaikan tokoh ini tidak sempat memberikan penjelasan yang luas dan panjang lebar, niscaya masih banyak hakikat dan nilai ilmu yang ada didalam ayat tersebut tetep tersembunyi.
o   Tokoh lain adalah almarhum Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Didalam kitab yang diberi judul Riyadh al-Mukhiar, tokoh ini banyak membahas ayat-ayat kawniyah, pembahsannya tersebut terbatas pada sudut pandang salah satu aspek dari sekian banyak aspek ilmu modern.
o   Terakhir, tokoh yang juga banyak membahas ayat-ayat kawniyah ini adalah al-Uatad Hanafi Ahmad, seperti yang terdapat dalam karyanya, al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi al-Qur’an al-Karim.[27]

7.      Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i

Sebagai salah satu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang mempunyai karakteristik tersendiri berbeda dari corak tafsir lainnya dan memiliki corak tersendiri yang betul-betul baru bagi dunia tafsir.
Corak tafsir ini adalah corak penafsiran al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir sejenis ini lebih banyak mengungkap hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dapat digolongkan mengikuti corak ini.[28]


C.     Studi Kasus Tafsir Al-Misbah Surat Al-Fatihah.

Surat Al-Fatihah adalah “ mahkota tuntunan ilahi” . Surat Al-Fatihah adalah “Ulumul Quran” atau induk Al-Quran. Banyak nama yg disandangkan kepada awal surat Al-Quran itu. Tidak heran jika doa dianjurkan ditutup dengan alhamdulillahirabil alamin. Atau bahkan ditutup dengan surat ini.[29]
Dari sekian banyak nama yg disandangkan hanya tiga atau empat nama yg diperkenalkan oleh Rasulullah SAW atau dikenal pada masa beliau yaitu Al-Fatihah, Ummul kitab atau Ummul Quran, dan As-Sab’ Al-Matsani.[30] Banyak hadist Nabi SAW yg menyebut Al-Fatihah, antara lain: “tidak ada (tidak sah) salat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah Al Kitab” (hr. Bukhari, Muslim dan perawi lainnya).[31]
Penamaannya dengan Al-Fatihah karena ia terletak pada awal Al-Quran, dan karena biasanya yang pertama memasuki sesuatu adalah yang membukanya, maka kata Al-Fatihah disini berarti awal Al-Quran.[32] Adapun penamaannya dengan As-Sab’ Al-Matsani maka ini pun bersumber dari sekian banyak hadist anatara lain diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Demi Tuhan Yang jiwaku berada didalam genggamannya, Allah tidak menurunkan didalam taurot, injil, maupun zabur dan Al-Qur’an suatu surat seperti As-Sab’ Al-Matsani”. Dari segi bahasa kata As-Sab’ berarti tujuh. Karena surat tersebut terdiri dari 7 ayat.  Sedangkan kata Matsani merupakan bentuk jamak dari kata Mutsana atau Matsna yang secara harfiah berarti dua puluh dua.[33]
Penamaannya dengan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an juga bersumber dari Nabi SAW, yang bersabda: “Siapa yang solat tanpa membaca Ummu Al-Qur’an maka solatnya khidaj (kurang atau tidak sah).”. Kata umm dari segi bahasa berarti induk. Penamaan surat ini dengan induk Al-Qur’an boleh jadi karena ia terdapat pada awal Al-Qur’an, sehingga ia bagaimana asal dan sumber, serupa dengan ibu yang datang mendahului anak serta merupakan sumber kelahirannya.[34]
Menurut Abduh, surat Al-Fatihah dalam kedudukannya sebagai wahyu pertama, atau keberadaannya pada awal Al-Qur’an merupakan penerapan sunah tersebut. Al-Quran turun menguraikan persoalan-persoalan:
 1) Tauhid.
 2) Janji dan ancaman.
 3) Ibadah yang menghidupkan tauhid.
 4) Penjelasan tentang jalan kebahagiaan didunia dan diakhirat dan cara mencapainya.
 5) Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.[35]

Surat Al-Fatihah

Ayat Pertama :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."
Allah memulai kitabNya dengan Basmallah dan memerintahkan nabi Nya sejak dini pada wahyu pertama untuk melakukan pembacaan dan semua aktifitas dengan nama Allah, iqro’ bismi rabbika, maka tidak keliru dikatakan bahwa Basmallah adalah pesan pertama Allah pada manusia, pesan agar manusia memulai aktifitasnya dengan nama Allah. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan huruf "ب" pada lafadz "بسم". Ayat pertama Surah Al Fatihah adalah lafadz Basmalah seperti yang tertulis di atas, ini menurut pendapat Imam Syafi'i yang sudah masyhur di kalangan para Ulama'. Walaupun ada sebagian Ulama' seperti Imam Malik yang berpendapat bahwa Basmalah bukan termasuk ayat pertama Surah Al-Fatihah, sehingga tidak wajib dibaca ketika shalat saat membaca Surah Al-Fatihah.[36]
Lafadz Ar-Rahman Ar-Rahim adalah dua sifat yang berakar dari kata yang sama. Agaknya kedua sifat ini dipilih karena sifat inilah yang paling dominan. Para ulama' memahami kata Ar-Rahman sebagai sifat Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedang Ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.[37]

Ayat Kedua :

الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالمَِيْنَ

"Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam."
Dalam Basmallah terkandung pujian kepada Allah SWT, antara lain dalam menampilkan kedua sifatnay Ar-Rohman Ar-Rohim karena itu wajar jika pada ayat ini ditegaskan bahwa segala puji bagi Allah, apalagi karena Dia adalah pemelihara seluruh alam. Kata Hamd atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatanNya yang baik walaupun Ia tidak memberi sesuatu kepada yang memuji. Inilah bedanya antara Hamd dengan syukur. Ada tiga unsur dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga Dia wajar mendapat pujian, yaitu indah (baik), dilakukan secara sadar, dan tidak terpaksa atau dipaksa. Kata Al-Hamdu, dalam surah Al-Fatihah ini ditunjukkan kepada Allah. Ini berarti bahwa Allah dalam segala perbuatan-Nya telah memenuhi ketiga unsur tersebut di atas.[38]
Kalimat Robbil 'aalamin, merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala puji hanya bagi Allah. Betapa tidak, Dia adalah Robb dari seluruh alam. Al-Hamdu lillahi Robbil'alamin dalam surah Al-Fatihah ini mempunyai dua sisi makna. Pertama berupa pujian kepada Allah dalam bentuk ucapan, dan kedua berupa syukur kepada Allah dalam bentuk perbuatan.[39]

Ayat Ketiga :

الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ

"Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Pemeliharaan tidak dapat terlaksana dengan baik dan sempurna kecuali bila disertai dengan rahmat dan kasih sayang. Oleh karena itu, ayat ini sebagai penegasan kedua setelah Allah sebagai Pemelihara seluruh alam. Pemeliharaan-Nya itu bukan atas dasar kesewenangan-wenangan semata, tetapi diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.[40]


Ayat Keempat :

مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

"Pemilik hari pembalasan."
Pemelihara dan Pendidik yang Rahman dan Rahiim boleh jadi tidak memiliki (sesuatu). Sedang sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kakuasaan. Karena itu kapamilikan dan kakuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan. Inilah yang dikandung oleh ayat keempat ini, “maaliki yaumiddin." Demikian al-Biqa'i menghubungkan ayat ini dan ayat sebelumnya. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah adalah Pemilik atau Raja hari kemudian. Paling tidak ada dua makna yang dikandung oleh penegasan ini, yaitu:
o   Pertama, Allah yang menentukan dan Dia pula satu-satunya yang mengetahui kapan tibanya hari tersebut.
o   Kedua, Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi dan apapun yang terdapat ketika itu. Kekuasaan-Nya sedemkian besar sehingga jangankan bertindak atau bersikap menentang-Nya, berbicara pun harus dengan seizin-Nya.[41]

Ayat Kelima :

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

"Hanya kepada-Mu Kami mengabdi dan hanya kepada-Mu Kami meminta pertolongan."
Kalimat "Hanya kepada-Mu Kami mengabdi dan hanya kepada-Mu Kami meminta pertolongan", adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah pengajaran. Allah mengajarkan ini kepada kita agar kita ucapkan, karena mustahil Allah yang Maha Kuasa itu berucap demikian, bila bukan untuk pengajaran.  Banyak sekali pesan yang dikandung kata iyyaka dan na'budu. Secara tidak langsung penggalan ayat ini mengecam mereka yang mempertuhan atau menyembah selain Allah, baik masyarakat Arab ketika itu maupun selainnya. Penggalan ayat mengecam mereka semua dan mengumandangkan bahwa Allah lah yang patut disembah dan tidak ada sesembahan yang lain. [42]
Selain itu dalam meminta pertolongan kita tidak dapat mengabaikan Allah dalam peranan-Nya. Permohonan bantuan kepada Allah agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upaya sendiri. Para ulama mendefinisikannya sebagai "Penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah pencapaian apa yang diharapkan." Dari penjelasan di atas terlihat bahwa permohonan bantuan itu, bukan berarti berlepas tangan sama sekali. Tetapi Kita masih dituntut untuk berperan, sedikit atau banyak, sesuai dengan kondisi yang dihadapi.[43]

Ayat Keenam :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

"Bimbing (antar)lah Kami (memasuki) jalan lebar dan luas."
Setelah mempersembahkan puja puji kepada Allah dan mengakui kekuasaan dan kepemilikan-Nya, ayat selanjutnya merupakan pernyataan tentang ketulusan-Nya beribadah serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah. Maka dengan ayat ini sang hamba mengajukan permohonan kepada Allah, yakni bimbing dan antarkanlah Kami memasuki jalan yang lebar dan luas. Shiroth di sini bagaikan jalan tol yang lurus dan tanpa hambatan, semua yang telah memasukinya tudak dapat keluar kecuali setelah tiba di tempat tujuan. Shiroth adalah jalan yang lurus, semua orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan. Sehingga shiroth menjadi jalan utama untuk sampai kepada tujuan utama umat manusia, yaitu keridloan Allah dalam setiap tingkah laku.[44]

Ayat Ketujuh :

صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ

"(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat."
Kata ni'mah/nikmat yang dimaksud di sini adalah nikmat yang paling bernilai yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat yang lain tidak akan mempunyai nilai yang berarti, bahkan dapat menjadi niqmah atau bencana jika tidak bisa mensyukuri dan menggunakannya dengan benar. Nikmat tersebut adalah nikmat memperoleh hidayah Allah serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang taat melaksanakan pesan-pesan Ilahi yang merupakan nikmat terbesar itu, mereka itulah yang masuk dan bisa melalui shiroth al-mustaqim. Mengenai yang disebut dengan al-maghdhub 'alaihim,ayat ini tidak menjelaskan siapakah orang-orang tersebut, tetapi rasulullah telah memberi contoh konkret,yaitu orang-orang Yahudi yang mengerti akan kebenaran tetapi enggan melaksanakannya. Demikian ayat terakhir surah al-Fatihah ini mengajarkan manusia agar bermohon kepada Allah, kiranya ia diberi petunjuk oleh-Nya sehingga mampu menelusuri Shiroth Al-Mustaqim, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sukses di dunia maupun di akhirat. Ayat ini juga mengajarkan kaum muslimin agar selalu optimis menghadapi hidup ini, bukankah nikmat Allah selalu tercurah kepada hamba-hamba-Nya?.[45]





[1] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : 1996)hlm.85-86.
[2] Kadar M Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta:2009)hlm.143-144.
[3] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 12.
[4] Kadar M Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta:2009)hlm 144.
[5] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 12
[6] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 12-13
[7]  Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 13.
[8]  Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 13-14.
[9]  Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 14.
[10] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 15-16.
[11] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 16.
[12] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 17.
[13] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 17-18.
[14] Dra. Akla, Tafsir, (Metro:2010)hlm 43.
[15] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 19.
[16] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 19.
[17]Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996) hlm 19-20.
[18] Dra. Akla, Tafsir, (Metro:2010)hlm 43.
[19] Dra. Akla, Tafsir, (Metro:2010) hlm 44.
[20] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 21.
[21] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 21.
[22] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 22.
[23] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 22-23.
[24] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 23
[25] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 24.
[26] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 24.
[27] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 25-26.
[28] Dra. Akla,Tasfir, (metro:2010)hlm 44.
[29] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 3.
[30] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 3.
[31] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 3.
[32] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[33] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[34] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[35] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[36]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 11.
[37] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 21-26.
[38] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 27-31.
[39] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 32-33.
[40] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 34.
[41] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 41-48.
[42] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 50-57.
[43] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 57-58.
[44] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 63-70.
[45] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 70-80.