Pengenalan
Penafsiran dengan Metode Tahlili
Banyak cara
pendekatan dan corak tafsir yang mengandalkan nalar, sehingga akan sangat luas
pembahasan apabila ditelusuri satu persatu. Untuk itu agaknya akan lebih mudah dan
efisien bila bertitik tolak dari pandangan al farmawi yang membagi metode
tafsir menjadi empat macam metode yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, Mawdhu’iy.[1]
A.
Pengertian Metode Tahlili
Tafsir
Tahlili (analisis) ialah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan susunan ayat dan
surah yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode
ini, menganalisis setiap kosakata atau lafal dari aspek bahasa dan makna.
Analisis dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat, ijaz, badi’, ma’ani, bayan, haqiqat, majaz,
kinayah, isti’arah, dan lain sebagainya. Dan dari aspek makna meliputi
sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, akidah, moral, perintah, larangan,
relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah, dan lain sebagainya.[2]
Penafsir
juga membahas mengenai sabab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan
dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau sahabat, atau para tabi’in, yang
kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan
diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula tercampur dengan
pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash
Al-Qur’an tersebut.[3]
Metode
tahlili merupakan cara yang dipergunakan oleh para musaffir klasik masa lalu.
Di antara buku tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah tafsir
Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Jarir, dan lain sebagainya.[4]
Para
penafsir tahlili ini ada yang bertele-tele dengan uraian panjang lebar, dan
sebaliknya ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Selanjutnya, mereka
juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang aneka ragam.[5]
B.
Pembagian Metode Tahlili
Ditinjau
dari segi kecenderungan para penafsir, metode Tahlili ini dapat dibedakan
kepada :
1.
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Tafsir
bi al-ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadist
Nabi SAW, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh
para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat, atau penafsiran
ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh rentang zaman dari masa
Nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat Al-Qur’an
semakin bervariasi dan berkembang. Periodesasi perkembangan Al-Tafsir bi
al-Ma’tsur ini ada dua periode atau tahapan:[6]
·
Periode Lisan
Periode
ini lazim disebut periode periwayatan ( ). Pada periode ini, para sahabat
mengambil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau oleh sahabat dari sahabat, atau
oleh tabi’in dari sahabat, dengan cara pengambilan yang dapat dipercaya,
teliti, dan memperhatikan jalur periwayatannya. Cara semacam ini berlangsung
sampai periode berikutnya dimulai.[7]
·
Periode Tadwin
(Kodifikasi-penulisan).
Pada
periode ini, Tafsir bi al-Ma’tsur, yang proses pengambilannya pada periode
pertama, dicacat dan dikodifikasikan. Pada mulanya kodifikasi tersebut dimuat
didalam kitab-kitab hadist. Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang
otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat
tafsir tafsir bi al-ma’tsur lengkap dengan jalur sanad yang sampai kepada Nabi
SAW, kepada para sahabat, tabi’in, dan tabi’i al tabai’in. Kitab-kitab tafsir
yang memuat materi Tafsir bi al-Ma’tsur ini antara lain :[8]
ü جامع
ا لبيا ن فى تفسير ا لقرا ن ا لكريم, oleh Ibn Jarir al-Thabary (w. 310 H).
ü تفسير ا لقرا ن ا لعظيم, Ibn Katsir (w. 774 H)
2.
Al-Tafsir bi al-Ra’yi
Al-Tafsir
bi al-Ra’yi adalah penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang
penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul,
nasikh-mansukh, dan hal-hal lainnya yang diperlukan oleh lazimnya seorang
penafsir.[9]
Corak Tafsir bi
Al-Ra’yi ini ada yang diterima dan ada pula yang ditolak. Tafsir bi al-Ra’yi ini
dapat diterima sepanjang penafsirannya memenuhi syarat-syarat, dan selama
penafsiran tersebut menjauhi lima hal berikut ini:
Ø Menjauhi
sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah di dalam kalam-Nya, tanpa
memiliki persyaratan sebagai penafsir.
Ø Memaksa
diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.
Ø Menghindari
dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
Ø Menghindari
tafsir yang ditulis untuk kepentingan mazhab semata, dimana ajaran mazhab
dijadikan dasar utama sementara tafsir itu sendiri dinomorduakan, sehingga
terjadilah berbagai kekeliruan.
Ø Menghindari
penafsiran pasti (qath’i), dimana
seorang penafsir, tanpa alasan, mengklaim bahwa itulah satu-satunya maksud
Allah.[10]
Demikian,
selagi seorang penafsir menjauhi kelima hal diatas dan niatnya ikhlas
semata-mata karna Allah serta untuk mendekatkan diri kepadanya-Nya, maka tafsir
dan ide-idenya dapat diterima. Diantara kitab-kitab tafsir “bi al-Ra’yi” ini
adalah sebagai berikut:
§ مفا تيح ا لغيب ,
oleh al-Fakhr al-Razi (w. 606 H).
§ ا
نوا ر ا لتنزيل وا سرا ر ا لتاء ويل, oleh al-Baidhawy (691 H).
§ مدا
رك التنزيل وحقا تق ا لتاء ويل, oleh al-Nasafy (w. 701 H).
§ لبا
ب ا لتاءويل فى ا لتنزيل, oleh al-Khazin (w. 741 H).
3.
Al-Tafsir al-Syufy
Seiring
dengan semakin meluasnya cakrawala budaya dan berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan, Tasawuf pun berkembang dan membentuk kecenderungan para
penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh didalam penafsiran
Al-Qur’an Al-Karim.
a.
Tashawuf Teoritis (
ا لتصوف ا لطر ى )
Para
penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-qur’an berdasarkan
teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka berupaya
maksimal untuk menemukan, didalam al-qur’an tersebut, faktor-faktor yang
mendukung teori dan ajaran mereka. Sehingga mereka tampak terlalu
berlebih-lebihan didalam memahami ayat-ayat dan penafsirannya sering keluar
dari arti zhahir yang dimaksudkan oleh syara’ dan didukung oleh kajian bahasa.
Penafsiran yang demikian ditolak dan jumlahnya sedikit.[12]
b.
Tashawuf Praktis (
ا لتصوف ا لعملى )
Yang
dimaksud dengan Tashawuf Praktisi adalah Tashawuf yang mempraktekkan gaya hidup
sengsara, zuhud, dan melibatkan diri di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti
zhahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh
para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang
dimaksudkan.[13]
Diantara kitab-kitab tafsir Tashawuf Praktis ini adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim,
oleh al-Tusturi (w. 383 H); Haqaiq al-tafsir, oleh al-Salami (w.412 H), dan
‘Araisy al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karya al-Syairazi (w. 606 H).
4.
Al-Tafsir al-Fiqhi
Berbarengan
dengan lahirnya al-Tafsir bi al-Ma’tsur al-Tafsir al-Fiqhi, dan sama-sama
dinukil dari Nabi SAW tanpa pembedaan antara keduanya. Para sahabat setiap
menemukan kesulitan untuk memahami hukum yang dikandung oleh al-Qur’an langsung
bertanya kepada Nabi, dan beliau langsung menjawab. Jawaban Rosulullah ini, di
satu pihak adalah Tafsir bi al-Ma’tsur dan, di lain pihak, sekaligus sebagai
tafsir al-Fiqhi. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat langsung mencari
keputusan hukum dari al-Qur’an dan berusaha menarik kesimpulan hukum syariah
berdasarkan ijtihad; hasil ijtihat mereka ini disebut al-Tafsir al-Fiqhi.
Demikian pula halnya yang terjadi dimasa dan dikalangan para tabi’in.[14]
Al-Tafsir
al-Fiqhi ini terus tumbuh dan berkembang pesat bersama berkembang pesatnya
ijtihad. Hasilnya terus berkembang dan bertambah serta disebar luaskan dengan
baik, jauh dari tendensi hawa nafsu dan berbagai kepentingan. Suasana semacam
ini berlangsung sejak turunnya al-Qur’an sampai masa munculnya berbagai mazhab
fikih.[15] Pada
masa lahirnya mazhab fikih yang empat dan lainnya, banyak muncul
masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya dari ulama terdahulu
karena hal tersebut belum pernah terjadi dizaman mereka, maka para imam di
zaman ini terpaksa harus memecahkan persoalan-persoalan baru tersebut dengan
merujuk langsung pada al-Qur’an dan al-Sunnah serta sumber hukum lainnya,
kemudian mereka menarik kesimpulan hukum yang dirasa kuat menurut nalar mereka,
dan meyakininya sebagai hukum yang benar yang didukung oleh dalil-dalil dan
bukti-bukti.
Didalam
perkembangan selanjutnya, masing-masing imam mazhab tersebut pempunyai banyak
pengikut. Sebagian dari mereka ini adalah yang sangat fanatik, yang menatap
ayat-ayat dengan kacamata mazhab semata, lalu menafsirkan ayat-ayat tersebut
sesuai dengan pandangan mazhab. Namun, sebagian dari mereka itu ada pula yang
obyegtif, yang melihat ayat dengan kacamata yang bebas dari tendensi dan
kepentingan mazhab mereka menafsirkan ayat-ayat seperti apa adanya sesuai
dengan kesan nalar mereka.[16]
Oleh karenanya,
kita menemukan beberapa karya Tafsir al-Fiqhi dikalangan Ahl al-Sunnah, yang
semula obyeknya namun kemudian terpengaruh juga oleh fanatisme mazhab. Dikalangan
mazhab al-Zhahir terdapat pula Tafsir al-Fiqhi yang berdasarkan kepada
pengertian zhahir ayat-ayat al-Qur’an, tidak lebih dari itu. Sementara kaum
khawarij mempunyai Tafsir al-Fiqhi tersendiri bagian mereka. Begitu pula kaum
Syiah, mereka mempunyai Tafsir al-Fiqhi yang berbeda dengan tafsir mazhab lain.
Masing-masing mazhab tersebut berusaha menafsirkan dan menta’wilkan ayat-ayat
al-Qur’an, sehingga dapat dijadikan dasar penguat bagi atau, setidak-tidaknya,
tidak bertentangan dengan mazhabnya. Hal ini membuat sebagian dari mereka
sering berlebih-lebihan di dalam menta’wilkan ayat-ayat, sehingga keluar dari makna dan maksud yang dikandung
oleh lafazh-lafazh al-Qur’an itu sendiri.[17]
Al-Tafsir
al-Fiqhi ini tersebar luas di celah-celah halaman berbagai kitab fikih yang
dikarang oleh tokoh berbagai mazhab. Terutama setelah masa kodifikasi, banyak
ulama menulis karya tafsir semacam ini sesuai dengan pandangan mazhab mereka. Di
antara kitab-kitab tafsir yang bercorak fiqhi ini adalah:
- احكا م ا لقر ا ن , oleh al-Jash-Shash (w. 370 H).
- ا حكا م ا لقران , karya Ibn al-Arabi (w. 543 H).
- الجا مع لا حكا م ا لقرا ن , oleh al-Qurthuby
(w. 671).[18]
5.
Al-Tafsir al-Falsafy
Sebagian telah
disinggung bahwa latar belakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena
tersebar luasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengah-tengah pesatnya perkembangan
ilmudan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan dimasa
Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam
pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku falsafah karya para filosof Yunani.
Tapi tidak ada karya tafsir Falsafy yang lengkap.[19]
Tokoh-tokoh
islam yang membaca buku-buku tersebut terbagi kepada dua golongan. Pertama,
golongan yang menolak falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan
antara falsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang falsafat dan
berupaya menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah al-Imam
al-Ghazali dan al-Fakr al-Razi. Tokoh yang disebut terakhir ini, di dalam karya
tafsirnya, membeberkan ide-ide falsafat yang dipandang bertentangan dengan
agama, khususnya dengan al-Qur’an, dan akhirnya ia dengan tegas menolak
falsafat berdasar alasan dan dalil yang ia anggap memadai. Kedua,
golongan yang mengagumi dan menerima falsafat, meskipun didalamnya terdapat
ide-ide yang bertentangan dengan nash-nash syara’. Kelompok ini berupaya
mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta
berusaha untuk menyingkirkan segala pertentangan. Namun usaha mereka belum
mencapai titik temu yang yang final, melainkan masih berupa usaha pemecahan
masalah secara setengah-setengah; sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat
al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori-teori falsafi, yang di
dalam banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash
al-Qur’an.[20]
Di antara
kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasar corak falsafi ini, yaitu dari golongan
pertama yang menolak falsafat adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghoib, oleh
al-Fakhr al-Razi(w. 606 H). Sedangkan dari golongan kedua nampaknya tidak ada,
Dr. Al-Zahabi berkomentar, kami tidak pernah mendengar bahwa di antara filosof
itu ada yang mengarang sebuah kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap; semua
yang kami temukan tidak lebih dari
sebagian pemahamanterhadap al-Qur’an secara parsial yang termuat di dalam
kitab-kitab falsafat yang mereka tulis.[21]
6.
Al-Tafsir al-Falsafi Al-Tafsir
al-‘Ilmi
Ajakan
al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri di atas prinsip pembebasan akal
dari tahayul dan kemerdekaan berfikir.
Al-Qur’an menyuruh umat manusia memperhatikan alam. Allah SWT di samping
menyuruh kita memperhatikan wahyuNya yang tertulis, sekaligus menganjurkan kita
agar memperhatikan wahyuNya yang tampak, yaitu alam. Karena inilah, kita
menemukan banyak ayat al-Qur’an yang diakhiri dengan kalimat, seperti yang
terdapat di dalam firman Allah Ta’ala(( قد فصلنا الا يا
ث لقو م يعلمون, ( لقو م يفقهون),
dan ( لقو م يثفكرون).[22]
Meskipun
ayat-ayat kawniyah itu secara tegas dan khusus tidak ditujukan kepada para
ilmuan, namun pada hakikatnya mereka itulah yang diharapkan untuk meneliti dan
memahami ayat-ayat kawniyah tersebut, karena mereka mempunyai sarana dan
kompetensi untuk itu dibanding tokoh-tokoh bidang ilmu lainnya. Kiranya, tak
seorangpun yang mampu mengetahui dan merasakan keindahan bahasa kecuali para
ahli balaghah, dan tak seorangpun yang dapat membedakan permata yang berharga
dari lainnya kecuali orang yang sangat berpengalaman. Manakala para ulama
menyadari hal yang demikian, maka sebagian dari mereka mencoba menafsirkan
ayat-ayat kawniyah tersebut berdasakan prinsip-prinsip kebahasaan dan
keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap
gejala atau fenomena alam. Akan tetapi, penafsiran mereka terhadap ayat-ayat
kawniyah tersebut masih terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial,
terpisah dari ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama. Di
antara para ulama terdahulu yang gigih mendukung corak al-Tafsir al-‘Ilmi ini
adalah:
Ø Al-Imam
al-Fakhr al-Razi, melalui kitab tafsirnya yang besar, Mafatih al-Ghaib.
Ø Al-Imam
al-Ghazali, melalui kitabnya Ihya ‘ulum ad-Din dan Jawahir al-Qur’an.
Ø Al-Imam
al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan.
Meskipun
sebagian ulama ada yang menolak, karya-karya tafsir corak ini mulai
bermunculan, dan mendapat perhatian besar dari para peneliti dan ilmuan.[23]
a.
Sikap Sebagai Ulama Terhadap
Tafsir ‘Ilmi
Sampai
sekarang, corak al-Tafsir al-‘Ilmi belum dapat diterima oleh ulama. Mereka
menilai penafsiran al-Qur’an semacam ini keliru, sebab Allah tidak menurunkan
al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berbicara tentang teori-teori ilmu
pengetahuan. Lebih dari itu, kajian al-Tafsir al-‘Ilmi dinilai keliru karena
para penafsir dicap terlalu berlebih-lebihan di dalam menta’wilkan ayat-ayat
tanpa ada rasa kagum akan aspek kemukjizatan ayat dan tanpa perasaan yang benar
dan sehat.[24]
Para pendukung al-Tafsir al-‘Ilmi ini seyogyanya menyadari bahwa al-Qur’an,
untuk kemuliaan dan keagungannya, tidak memerlukan dukungan dari sikap yang
berlebih-lebihan semacam ini yang tidak diragukan lagi, justru akan menyeret
al-Qur’an tersebut keluar dari tujuan kemanusiaannya semula, yaitu untuk
memperbaiki kehidupan dan membersihkan jiwa, untuk kembali kepada Allah Ta’ala.
Ada
banyak faktor yang menyebabkan sebagian ulama bersikap keras menolak al-Tafsir
al-‘Ilmi ini. Di antara yang terpenting, demikian menurut al-Ustazd Ahmad
Hanafi, adalah adanya warisan akidah yang berakar kuat didalam benak umat bahwa
al-Qur’an itu semata-mata sebagai petunjuk dan penuntun bagi kehidupan manusia,
tidak ada hubungannya dengan prinsip dan teori-teori ilmu alam. Adapun
pembicaraan Al-Qur’an tentang fenomena-fenomena alam itu tidak perlu dipahami
secara mendalam, melainkan cukup sekedar memikirkan dan merenungkannya dalam
arti biasa.[25]
Sebagian
ulama tidak mengakui adanya suatu ilmu yang menjelaskan fenomena-fenomena alam
didalam al-Qur’an sehingga, karena sifat semacam ini, mereka tidak memiliki
kunci metodologi pembahasan.[26]
Ketahuilah, metode tersebut sebenarnya ada, yaitu menghimpun ayat-ayat yang
terpisah-pisah di berbagai surat, dan menyusunnya secara utuh menurut
pokok-pokok permasalahannya, dan kemudian membahasnya secara sempurna dan
tuntas.
b.
Pembahasan al-Tafsir al-‘Ilmi
Meskipun
terdapat berbagai kendala dan rintangan serta tantangan, nampaknya masih ada
tokoh-tokoh ulama kontenporer yang berminat melakukan kajian al-Tafsir al-‘Ilmi
untuk menyingkapi makna ayat-ayat kawniyah. Tokoh ulama yang dimaksud antara
lain:
o
Al-Ustazd Dr. Muhammad Ahmad
al-Ghamrawi. Didalam kitabnya, Sunanullah al-Kawniyah, dia telah
mengemukakan pembahasan panjang lebar mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang
menunjuk kepada masalah meteorologi.
o
Al-Ustazd Dr. Abd al-Aziz Ismail.
Didalam karyanya, al-Islam wa al-Thib al-Hadist, tokoh ini menafsirkan
sebagian ayat-ayat kawniyah secara ilmiah seraya mengungkapkan aspek-aspek
kemukjizatannya.
o
Al-Syekh Thanthawi Jauhari.
Melalui kitab tafsirnya yang tebal, beliau telah mengemukakan pembahasan
mengenai berbagai macam ilmu yang disyaratkan oleh ayat-ayat kawniyah. Andaikan
tokoh ini tidak sempat memberikan penjelasan yang luas dan panjang lebar,
niscaya masih banyak hakikat dan nilai ilmu yang ada didalam ayat tersebut
tetep tersembunyi.
o
Tokoh lain adalah almarhum Ahmad
Mukhtar al-Ghazi. Didalam kitab yang diberi judul Riyadh al-Mukhiar, tokoh ini
banyak membahas ayat-ayat kawniyah, pembahsannya tersebut terbatas pada sudut
pandang salah satu aspek dari sekian banyak aspek ilmu modern.
o
Terakhir, tokoh yang juga banyak
membahas ayat-ayat kawniyah ini adalah al-Uatad Hanafi Ahmad, seperti yang
terdapat dalam karyanya, al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kawniyah fi
al-Qur’an al-Karim.[27]
7.
Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Sebagai
salah satu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang
mempunyai karakteristik tersendiri berbeda dari corak tafsir lainnya dan
memiliki corak tersendiri yang betul-betul baru bagi dunia tafsir.
Corak
tafsir ini adalah corak penafsiran al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan
sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir sejenis
ini lebih banyak mengungkap hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan
kebudayaan yang sedang berlangsung. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha dapat digolongkan mengikuti corak ini.[28]
C.
Studi Kasus Tafsir Al-Misbah
Surat Al-Fatihah.
Surat
Al-Fatihah adalah “ mahkota tuntunan ilahi” . Surat Al-Fatihah adalah “Ulumul
Quran” atau induk Al-Quran. Banyak nama yg disandangkan kepada awal surat
Al-Quran itu. Tidak heran jika doa dianjurkan ditutup dengan
alhamdulillahirabil alamin. Atau bahkan ditutup dengan surat ini.[29]
Dari
sekian banyak nama yg disandangkan hanya tiga atau empat nama yg diperkenalkan
oleh Rasulullah SAW atau dikenal pada masa beliau yaitu Al-Fatihah, Ummul
kitab atau Ummul Quran, dan As-Sab’ Al-Matsani.[30]
Banyak hadist Nabi SAW yg menyebut Al-Fatihah, antara lain: “tidak ada
(tidak sah) salat bagi yang tidak membaca Al-Fatihah Al Kitab” (hr.
Bukhari, Muslim dan perawi lainnya).[31]
Penamaannya
dengan Al-Fatihah karena ia terletak pada awal Al-Quran, dan karena biasanya
yang pertama memasuki sesuatu adalah yang membukanya, maka kata Al-Fatihah
disini berarti awal Al-Quran.[32]
Adapun penamaannya dengan As-Sab’ Al-Matsani maka ini pun bersumber dari
sekian banyak hadist anatara lain diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa
Rasulullah SAW bersabda “ Demi Tuhan Yang jiwaku berada didalam
genggamannya, Allah tidak menurunkan didalam taurot, injil, maupun zabur dan
Al-Qur’an suatu surat seperti As-Sab’ Al-Matsani”. Dari segi bahasa kata As-Sab’
berarti tujuh. Karena surat tersebut terdiri dari 7 ayat. Sedangkan kata Matsani merupakan bentuk jamak
dari kata Mutsana atau Matsna yang secara harfiah berarti dua
puluh dua.[33]
Penamaannya
dengan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an juga bersumber dari Nabi
SAW, yang bersabda: “Siapa yang solat tanpa membaca Ummu Al-Qur’an maka
solatnya khidaj (kurang atau tidak sah).”. Kata umm dari segi bahasa
berarti induk. Penamaan surat ini dengan induk Al-Qur’an boleh jadi karena ia
terdapat pada awal Al-Qur’an, sehingga ia bagaimana asal dan sumber, serupa
dengan ibu yang datang mendahului anak serta merupakan sumber kelahirannya.[34]
Menurut
Abduh, surat Al-Fatihah dalam kedudukannya sebagai wahyu pertama, atau
keberadaannya pada awal Al-Qur’an merupakan penerapan sunah tersebut. Al-Quran
turun menguraikan persoalan-persoalan:
1) Tauhid.
2) Janji dan ancaman.
3) Ibadah yang menghidupkan tauhid.
4) Penjelasan tentang jalan kebahagiaan
didunia dan diakhirat dan cara mencapainya.
5) Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.[35]
Surat Al-Fatihah
Ayat Pertama :
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
"Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang."
Allah
memulai kitabNya dengan Basmallah dan memerintahkan nabi Nya sejak dini pada
wahyu pertama untuk melakukan pembacaan dan semua aktifitas dengan nama Allah,
iqro’ bismi rabbika, maka tidak keliru dikatakan bahwa Basmallah adalah pesan
pertama Allah pada manusia, pesan agar manusia memulai aktifitasnya dengan nama
Allah. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan huruf "ب" pada lafadz "بسم".
Ayat pertama Surah Al Fatihah adalah lafadz Basmalah seperti yang tertulis di
atas, ini menurut pendapat Imam Syafi'i yang sudah masyhur di kalangan para
Ulama'. Walaupun ada sebagian Ulama' seperti Imam Malik yang berpendapat bahwa
Basmalah bukan termasuk ayat pertama Surah Al-Fatihah, sehingga tidak wajib
dibaca ketika shalat saat membaca Surah Al-Fatihah.[36]
Lafadz
Ar-Rahman Ar-Rahim adalah dua sifat yang berakar dari kata yang sama. Agaknya
kedua sifat ini dipilih karena sifat inilah yang paling dominan. Para ulama'
memahami kata Ar-Rahman sebagai sifat Allah yang mencurahkan rahmat yang
bersifat sementara di dunia ini, sedang Ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang
bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh
makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan
rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal,
yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.[37]
Ayat Kedua :
الْحَمْدُ
لله رَبِّ الْعَالمَِيْنَ
"Segala puji hanya bagi Allah
pemelihara seluruh alam."
Dalam
Basmallah terkandung pujian kepada Allah SWT, antara lain dalam menampilkan
kedua sifatnay Ar-Rohman Ar-Rohim karena itu wajar jika pada ayat ini
ditegaskan bahwa segala puji bagi Allah, apalagi karena Dia adalah pemelihara
seluruh alam. Kata Hamd atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada
yang dipuji atas sikap atau perbuatanNya yang baik walaupun Ia tidak memberi
sesuatu kepada yang memuji. Inilah bedanya antara Hamd dengan syukur.
Ada tiga unsur dalam perbuatan yang harus dipenuhi oleh yang dipuji sehingga
Dia wajar mendapat pujian, yaitu indah (baik), dilakukan secara sadar, dan
tidak terpaksa atau dipaksa. Kata Al-Hamdu, dalam surah Al-Fatihah ini
ditunjukkan kepada Allah. Ini berarti bahwa Allah dalam segala perbuatan-Nya
telah memenuhi ketiga unsur tersebut di atas.[38]
Kalimat
Robbil 'aalamin, merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala puji
hanya bagi Allah. Betapa tidak, Dia adalah Robb dari seluruh alam. Al-Hamdu
lillahi Robbil'alamin dalam surah Al-Fatihah ini mempunyai dua sisi makna.
Pertama berupa pujian kepada Allah dalam bentuk ucapan, dan kedua berupa syukur
kepada Allah dalam bentuk perbuatan.[39]
Ayat Ketiga :
الرَّحْمَانِ
الرَّحِيْمِ
"Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang."
Pemeliharaan
tidak dapat terlaksana dengan baik dan sempurna kecuali bila disertai dengan
rahmat dan kasih sayang. Oleh karena itu, ayat ini sebagai penegasan kedua
setelah Allah sebagai Pemelihara seluruh alam. Pemeliharaan-Nya itu bukan atas
dasar kesewenangan-wenangan semata, tetapi diliputi oleh rahmat dan kasih
sayang.[40]
Ayat Keempat :
مَالِكِ
يَوْمِ الدِّيْنِ
"Pemilik hari pembalasan."
Pemelihara
dan Pendidik yang Rahman dan Rahiim boleh jadi tidak memiliki (sesuatu). Sedang
sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kakuasaan. Karena
itu kapamilikan dan kakuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan. Inilah yang
dikandung oleh ayat keempat ini, “maaliki yaumiddin." Demikian al-Biqa'i
menghubungkan ayat ini dan ayat sebelumnya. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah
adalah Pemilik atau Raja hari kemudian. Paling tidak ada dua makna yang
dikandung oleh penegasan ini, yaitu:
o
Pertama, Allah yang menentukan dan Dia pula
satu-satunya yang mengetahui kapan tibanya hari tersebut.
o
Kedua, Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi
dan apapun yang terdapat ketika itu. Kekuasaan-Nya sedemkian besar sehingga
jangankan bertindak atau bersikap menentang-Nya, berbicara pun harus dengan
seizin-Nya.[41]
Ayat Kelima :
اِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
"Hanya kepada-Mu Kami mengabdi
dan hanya kepada-Mu Kami meminta pertolongan."
Kalimat
"Hanya kepada-Mu Kami mengabdi dan hanya kepada-Mu Kami meminta
pertolongan", adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah
pengajaran. Allah mengajarkan ini kepada kita agar kita ucapkan, karena
mustahil Allah yang Maha Kuasa itu berucap demikian, bila bukan untuk
pengajaran. Banyak sekali pesan yang dikandung
kata iyyaka dan na'budu. Secara tidak langsung penggalan ayat ini
mengecam mereka yang mempertuhan atau menyembah selain Allah, baik masyarakat
Arab ketika itu maupun selainnya. Penggalan ayat mengecam mereka semua dan
mengumandangkan bahwa Allah lah yang patut disembah dan tidak ada sesembahan
yang lain. [42]
Selain itu
dalam meminta pertolongan kita tidak dapat mengabaikan Allah dalam peranan-Nya.
Permohonan bantuan kepada Allah agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu
diraih oleh yang bermohon dengan upaya sendiri. Para ulama mendefinisikannya
sebagai "Penciptaan sesuatu yang dengannya menjadi sempurna atau mudah
pencapaian apa yang diharapkan." Dari penjelasan di atas terlihat bahwa
permohonan bantuan itu, bukan berarti berlepas tangan sama sekali. Tetapi Kita
masih dituntut untuk berperan, sedikit atau banyak, sesuai dengan kondisi yang
dihadapi.[43]
Ayat Keenam :
اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
"Bimbing (antar)lah Kami
(memasuki) jalan lebar dan luas."
Setelah
mempersembahkan puja puji kepada Allah dan mengakui kekuasaan dan
kepemilikan-Nya, ayat selanjutnya merupakan pernyataan tentang ketulusan-Nya
beribadah serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah. Maka dengan ayat ini
sang hamba mengajukan permohonan kepada Allah, yakni bimbing dan antarkanlah
Kami memasuki jalan yang lebar dan luas. Shiroth di sini bagaikan jalan tol
yang lurus dan tanpa hambatan, semua yang telah memasukinya tudak dapat keluar
kecuali setelah tiba di tempat tujuan. Shiroth adalah jalan yang lurus, semua
orang dapat melaluinya tanpa berdesak-desakan. Sehingga shiroth menjadi jalan
utama untuk sampai kepada tujuan utama umat manusia, yaitu keridloan Allah
dalam setiap tingkah laku.[44]
Ayat Ketujuh :
صِرَاطَ
الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ
الضَّالِّيْنَ
"(Yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat."
Kata
ni'mah/nikmat yang dimaksud di sini adalah nikmat yang paling bernilai yang
tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat yang lain tidak akan mempunyai nilai yang
berarti, bahkan dapat menjadi niqmah atau bencana jika tidak bisa mensyukuri
dan menggunakannya dengan benar. Nikmat tersebut adalah nikmat memperoleh
hidayah Allah serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang taat
melaksanakan pesan-pesan Ilahi yang merupakan nikmat terbesar itu, mereka
itulah yang masuk dan bisa melalui shiroth al-mustaqim. Mengenai yang disebut
dengan al-maghdhub 'alaihim,ayat ini tidak menjelaskan siapakah orang-orang
tersebut, tetapi rasulullah telah memberi contoh konkret,yaitu orang-orang
Yahudi yang mengerti akan kebenaran tetapi enggan melaksanakannya. Demikian
ayat terakhir surah al-Fatihah ini mengajarkan manusia agar bermohon kepada
Allah, kiranya ia diberi petunjuk oleh-Nya sehingga mampu menelusuri Shiroth
Al-Mustaqim, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sukses di dunia maupun
di akhirat. Ayat ini juga mengajarkan kaum muslimin agar selalu optimis
menghadapi hidup ini, bukankah nikmat Allah selalu tercurah kepada
hamba-hamba-Nya?.[45]
[1] M.Quraish
Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : 1996)hlm.85-86.
[2] Kadar M Yusuf,
Studi Al-Qur’an, (Jakarta:2009)hlm.143-144.
[3] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 12.
[4] Kadar M Yusuf,
Studi Al-Qur’an, (Jakarta:2009)hlm 144.
[5] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 12
[6] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 12-13
[7] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy,
(Jakarta:1996)hlm 13.
[8] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy,
(Jakarta:1996)hlm 13-14.
[9] Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy,
(Jakarta:1996)hlm 14.
[10] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 15-16.
[11] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 16.
[12] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 17.
[13] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 17-18.
[14] Dra. Akla,
Tafsir, (Metro:2010)hlm 43.
[15] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 19.
[16] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 19.
[17]Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996) hlm 19-20.
[18] Dra. Akla,
Tafsir, (Metro:2010)hlm 43.
[19] Dra. Akla,
Tafsir, (Metro:2010) hlm 44.
[20] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 21.
[21] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 21.
[22] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 22.
[23] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 22-23.
[24] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 23
[25] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 24.
[26] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 24.
[27] Al Farmawi,
Metode Tafsir Mawdhu’iy, (Jakarta:1996)hlm 25-26.
[28] Dra. Akla,Tasfir,
(metro:2010)hlm 44.
[29] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 3.
[30] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 3.
[31] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 3.
[32] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[33] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[34] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[35] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 4.
[36]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 11.
[37] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 21-26.
[38] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 27-31.
[39] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 32-33.
[40] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 34.
[41] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 41-48.
[42] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 50-57.
[43] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 57-58.
[44] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 63-70.
[45] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:2002)hlm 70-80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar