HUKUM
ISLAM DI INDONESIA
Di kalangan umat Islam masih terdapat kerancuan
dalam memahami Syari’ah, Fiqh, dan Hukum Islam. Kekacauan ini menyebabkan
munculnya berbagai masalah dalam penerapan hukum di masyarakat dan timbul
ketidakseragaman mengenai hukum Islam dan syari’at Islam.
Pengertian
Syari’ah, fiqh dan hukum Islam
Secara lughawi (etimologi), syari’ah berarti “jalan
ke tempat pengairan atau tempat aliran air di sungai”. Kata syari’ah muncul
dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti al-Maidah ayat 48, as-Syura ayat
13 dan al-Jatsiyah ayat 18 yang semuanya mengandung arti “jalan yang jelas yang
membawa pada kemenangan”.
Menurut istilah, syari’at adalah khitab Allah yang
berhubungan dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang
diatur tersendiri. Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan syari’at dengan “hukum-hukum
dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam
hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia. (Hasbi ash-Siddieqy,
Filsafat Hukum Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hal. 29).
Syari’ah sebagai kumpulan norma-norma yang merupakan
hasil dari proses tasyri’. Syari’ah merupakan kata aturan yang ditetapkan yang
menyangkut tingkah laku manusia. Sedang tasyri’ adalah pengetahuan tentang
cara, proses, dasar dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tingkah laku manusia
dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan.
Syari’ah dalam konotasi hukum Islam terbagi menjadi
dua macam, yaitu syari’ah Ilahi (tasyri’ samawi), yaitu ketentuan-ketentuan
hukum yang langsung dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan
syari’ah wadh’i (tasyri’ wadh’i) yaitu ketentuan hukum yang dilakukan oleh para
mujtahid. Produk pemikiran yang dilakukan para ulama’ mujtahid dalam syari’ah
wadh’i diakui sebagai syari’ah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada
al-Qur’an dan Sunnah, seperti qiyas atau maslahah.
Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui
sesuatu dan memahaminya secara baik dan mendalam (Abu al-Hasan Ahmad Faris,
Mu’jam Maqayis al-Lughah, III, al-Babi al-Halabi, Cairo Mesir, 1970, hal. 442).
Muhammad Abu Zahrah mengartikan fiqh dengan “mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci (Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, Dar-al-Fikr al-Arabi, Cairo, 1958, hal. 6).
Dua objek kajian fiqh, yaitu hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliah dan dalil-dalil terperinci dari al-Qur’an dan Sunnah yang
menunjuk suatu kejadian tertentu atau menjadi rujukan bagi kejadian-kejadian
tertentu. Seperti riba haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat
al-Baqarah ayat 279. Pengetahuan itu didasarkan pada dalil tafsili. Dan fiqh
digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Hasil pemahaman dan
penalaran mujtahid terhadap hukum syara’ dituangkan dalam bentuk ketentuan
terperinci tentang tingkah laku para mukallaf yang disebut fiqh. Pemahaman
terhadap hukum syara’ senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
situasi dan kondisi yang menjalaninya. Karena fiqh adalah refleksi dari
perkembangan kehidupan masyarakat sesuai kondisi zaman, perubahan waktu dan
situasi setiap masyarakat.
Pada
hakekatnya fiqh adalah :
1. Ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap
aktifitas mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat
2. Objek kajian fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3. Pengetahuan hukum syari’ah didasarkan pada dalil tafsili.
4. Fiqh digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad.
5. Fiqh sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja, cara berpikir, terutama cara berpikir taksonomi dan cara berpikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadits hukum.
6. Fiqh adalah seperangkat norma yang mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat
(Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam, Rajawali
Grasindo, Jakarta, 2007, hal. 45).
Qanun (hukum) adalah produk manusia melalui campur
tangan kekuasaan negara dalam menyelesaikan perkara tertentu. Qanun wadh’iyah
(undang-undang) adalah peraturan yang dibuat oleh pihak penguasa yang
diperuntukan untuk masyarakat atau untuk menata dengan baik segala sesuatu
dalam kehidupan masyarakat. (Oxford Advanced Learner’s Dictionary Current
English, Oxford, The University Press, 1964, hal. 476).
Qanun adalah undang-undang yang berisi hukum Islam
dengan tetap mempergunakan prosedur / metodologi hukum Islam dalam menemukan
hukum, seperti istihsan, urf, maslahah dan siyasah syar’iyah. A.A. Fyzee,
(Outlines of Muhammadan law,1955) mengartikan “Canon Law of Islam” adalah hukum
Islam, yakni keseluruhan perintah Tuhan yang meliputi seluruh tingkah laku
manusia.
Karakter
Hukum Islam
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
hanya berisi sedikit ayat yang mengandung doktrin hukum, sekitar 80 dari 500
ayat-ayat hukum yang dapat dikatergorikan sebagai kode hukum.( Tahir Mahmood,
Law in the al-Qur’an: A. Draft Code, 1987). Oleh karena itu diperlukan sunnah
untuk dapat memahami pesan-pesan al-Qur’an yang berhubungan erat dengan problem
hukum keseharian.
Sunnah merupakan informasi yang kaya mengenai sabda
dan perilaku Nabi yang mencakup pula perintah, larangan, dan persetujuan Nabi
mengenai kasus-kasus tertentu yang muncul di kalangan sahabat pada saat itu.
Sunnah adalah refleksi pemahaman Rasul mengenai dialektika (seni berpikir
secara teratur logis dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan
sintesis) teks suci al-Qur’an dan konteks sejarah pada masa hidupnya Nabi
Muhammad SAW.
Semua permasalahan hukum yang muncul pada saat itu
di bawa kepada Nabi untuk mendapatkan pemecahan. Nabi dalam menyelesaikan
masalah yang diadukan umat Islam senantiasa berpegang pada teks suci al-Qur’an
untuk menjawabnya. Jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan solusi pemecahan dalam
kasus-kasus tertentu, maka Nabi berperan menjadi pemecah masalah hukum. Oleh
karena itu dalam hukum Islam dikenal Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum
dan Nabi dipahami sebagai legislator (al-Syari’) setelah Allah.
Nabi dipercayai memiliki sifat sakral yang berfungsi
sebagai garansi terhadap keputusan-keputusan hukum yang dikeluarkannya. Tanpa
karakter sakral ini, maka doktrin yang mewajibkan umat Islam untuk mengikuti
keputusan-keputusan Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an tidak akan mungkin
terformulasikan/terumuskan dalam bentuk yang tepat.(Daniel Brown, Retheinking
Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge Univ.Press,1996).
Karakteristik hukum Islam adalah sempurna (ta’amul),
harmonis (wasathiyah), dan dinamis (harakah). Muhammad Ali al-Sayis mengatakan
bahwa karakteristik hukum Islam yang paling menonjol ada tiga hal, yaitu 1.
Tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya, 2.
Menjaga kemaslahatan manusia dan, 3. Selalu melaksanakan keadilan dalam
penerapannya (Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islam, Qoriah, Mesir,
tt, hal.25). Karakter-karakter di atas sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam surat al-‘Araf ayat 157, yaitu tidak susah, sedikit beban,
berangsur-angsur, ada kelonggaran dan sesuai dengan kemaslahatn umum.
Perkembangan
sumber hukum Islam
Al-Qur’an dan Sunnah
merupakan sumber utama hukum Islam, dan itu tetap bertahan dalam waktu lama.
Akan tetapi karena permasalahan hukum semakin kompleks di wialayah Islam, maka
umat Islam memerlukan metodologi yang mapan untuk memecahkan permaslahan-permasalahan
hukum yang muncul berdasarkan sumber-sumber utama hukum Islam.
Para yuris Islam merespon kebutuhan ini dengan
mengembangkan prosedur ijma’ dan qiyas yang menekankan pentingnya akal dalam
pengambilan keputusan hukum. Qiyas terdiri dari dua macam, yaitu qiyas ‘illah
(causative inference) dan qiyas dalalah (indicative inference). Dengan ijma’
pemikiran para ahli hukum dapat diaplikasikan dalam proses penetapan hukum
suatu kasus, dan melalui qiyas kasus-kasus yang timbul dapat dipecahkan melalui
deduksi analogi.
Beberapa sumber hukum lain muncul seagai metodologi
baru untuk merespon masalah-masalah hukum baru yang tidak mampu dipecahkan
melalui sumber-sumber hukum yang ada (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas),
yaitu Istishab, Istislah atau maslahah al-mursalah atau istihsan, ‘amal ahl
al-Madinah, shar’ man qablana dan ‘urf yang dapat dipergunakan untuk memecahkan
problem hukum yang muncul belakangan.
Istishab adalah presumsi hukum (legal presumption)
yang mencakup semua presumsi yang diterima hukum, seperti presumsi tidak
bersalah dan presumsi semua benda adalah halal kecuali jika secara eksplisit
dilarang (Abdur Rahman I Doi, Shariah: The Islamic Law, 1990).
Istislah, maslahah musrasalah dan istihsan adalah
sumber hukum yang menekankan pentingnya merujuk kepada kepentingan umum
(interes publik) sebagai alat penguji terhadap keabsahan suatu solusi hukum.
Dengan istislah berarti preferen juristik (juristic preference) yang didasarkan
pada apa yang dipandang sebagai yang terbaik bagi kepentingan publik.
Sedang maslahah mursalah juristic preferencenya
dilandasi oleh kepentingan kemakmuran publik, dan istihsan berarti preferen
juristik yang melibatkan pertimbangan pemilihan satu aturan hukum ketimang
aturan yang lain, karena faktor lingkungan, sebagai bagian interes publiknya.
Amal ahl al-Madinah merupakan terma yang menunjuk
kepada perilaku masyarakat Madinah yang hidup dalam waktu yang lama bersama
Nabi. Shar’u man qablana esensinya adalah hukum yang dibuat oleh masarakat
sebelum Nabi Muhammad SAW, seperti ajaran hukum Nabi Musa dalam kitan Taurat
dan Isa dalam Injil. ‘Urf adalah sumber hukum yang mendasarkan diri pada adat
kebiasaan masyarakat setempat (Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh,1956).
Dari ‘Urf ini para yuris Islam membuat kaidah hukum
(formulasi maksim) al-‘adah muhakkamah (adat menjadi dasar penetapan hukum).
Agar adat yang dijadikan dasar penetapan hukum itu tidak melanggar ajaran dasar
al-Qur’an dan Sunnah, maka ditentukan syarat-syarat validitas sebagai berikut:
1. Adat itu harus secara umum dipraktikkan oleh
masyarakat atau sebagian tertentu dari masyarakat;
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).
2. Adat harus betul-betul menjadi kebiasaan pada waktu akan ditetapkan sebagai rukujukan hukum;
3. Adat harus dipandang batal ab initio jika ternyata bertentangan dengan sumber utama hukum Islam;
4. Dalam kasus perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum hanya jika tidak ada pihak bersangkutan yang menolak adat tersebut. (Tahir Mahmood, Custom as a Source of Law in Islam, 1965).
Tujuan
Hukum
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Hukum Islam bersendi dan berasaskan hikmah dan kemaslahatan dalam hidup. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih sayang), kemaslahatan dan kebijaksnaan. Hukum Islam itu adil dan menempatkan keadilan Allah di tengah-tengah hambanya, kasih sayang Allah diantara makhluk-makhluknya (Ibnu Qayyim, I’lmu al-Muwaqqi’in, Makatabah Tijariyah al-Qahirah, Mesir, 1955, hal. 14-15).
Hukum sebagai alat rekayasa sosial yang dapat
mempengaruhi moral masyarakat harus memberi manfaat bagi masyarakat. Tujuan
syari’at atau penetapan hukum menurut para ahli fiqh (Yuris Islam) adalah:
1. Mendidik individu agar menjadi sumber kebajikan
bagi masyarakat;
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
2. Menetapkan keadilan, dan
3. Menciptakan kemaslahatan yang dikaitkan dengan lima pokok kunci pemeliharaan dalam syari’at Islam, yaitu, agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta milik.
Kemaslahatan itu bertingkat-tingkat cara
pemenuhannya, yaitu:
1. Kemaslahatan yang bersifat primer (dlorury) yang
diharuskan adanya lima pokok di atas;
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
2. Kemaslahatan yang bersifat penting/sekunder (Hajji) yang adanya merupakan keringanan/dispensai (rukhsakh);
3. Kemaslahatan yang bersifat asoseris (tahsini), yaitu suatu kebutuhan yang sifatnya hanya sebagai pelengkap,yang bisa diabaikan jika menyangkut hal-hal pokok.
Mohammad Salam Madkur menjelaskan bahwa untuk
menjaga kelima kebutuhan pokok di atas, Islam telah mengadopsi dua strategi,
yaitu: (1) penanaman kesadaran agama dan jiwa manusia dan pengembangan
keasadaran kemanusiaan melalui pendidikan moral, dan (2) penggunaaan prinsip
hukuman pencegahan (deterrent punishment) sebagai asas hukum pidana Islam (M.
Salam Madkur, Human Rights from an Islamic Worldview: An Outline of Hudud,
Ta’zir & Qisas).
Sedang menurut teori ilmu hukum modern tujuan hukum
dapat dikaji dalam tiga sudut pandang, yaitu:
1. Pandangan falsafah hukum (teori etis) yang
menitikberatkan tujuan hukum untuk merealisir atau mewujudkan keadilan baik
yang bersifat distributif atau keadilan proporsional maupun keadilan kumulatif
yang memastikan setiap orang memperoleh hak yang sama;
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
2. Pandangan sosiologi hukum (teori Utilitis) yang menakankan bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat; dan
3. Pandangan ilmu hukum normatif (aliran yuridis dogmatik) yang menekankan tujuan hukum dengan terwujudnya kepastian hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1999:145) dalam upaya
menegakkan hukum, maka ketiga unsur tujuan hukum di atas harus diperhatikan.
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang. Masyarakat menghendaki adanya suatu kepastian hukum agar
masyarakat lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan kemanfaatan dari
penegakan hukum.
Substansi
Hukum Islam
Hukum Islam mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia agar selamat di dunia dan di akhirat. Hukum
Islam mengontrol, mengatur dan meregulasi (pengaturan) semua perilaku privat
maupun publik seseorang.
Tingkah laku manusia diatur dan dibagi dalam dua
klasifikai besar yang terpisah tapi saling mempengaruhi. Pertama adalah
hubungan Allah dengan manusia yang diatur melaluihukum kewajiban ibadah. Ibadah
merupakan refleksi atas ketundukan manusia kepada Allah, seperti. Kedua adalah
hubungan antara sesama manusia, yaitu aturan hukum yang mengatur segala
aktivitas dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Hukum Islam memberi aturan yang spesifik tentang shalat,
puasa, zakat, dan haji serta bantuan-bantuan sosial seperti infak dan shadaqah,
tetapi juga berisi aturan tentang barbagai hal seperti makanan halal, diet,
perkawinan, hubungan seksual, pemeliharaan anak dan masalah-masalah domestik
lainnya. Hukum Islam juga mengatur tatanan tentang bagaimana sesorang harus
harus bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi dengan
kelompok lain, aturan tentang transaksi bisnis, penyelesaian konflik bahkan
aturan perang (Sohail H.Hashmi, Saving and Taking Life in War Three Modern
Muslim Views 89, 1999).
Perkembangan substantif hukum Islam senantiasa
menyambut positif nilai-nilai dari luar yang dipandang masih masuk dalam batas
ajaran Islam. Aspek-aspek substantif hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
sudah mengalamai percampuran antara ide hukum yang suci (sakral) dengan tradisi
setempat, yaitu hukum adat masyarakat Arab.
Dalam hukum keluarga misalnya, Islam tetap
mempertahankan perkawinan sebagai lembaga sakral. Perkawinan dalam Islam
bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kebersihan hubungan genealogis ras
manusia. Nabi telah melakukan penghapusan beberapa praktik adat Arab yang
bertentangan dengan hukum Islam, seperti poliandri, hubungan seksual di luar
nikah, adopsi, perceraian berulang-ulang, dan lain sebagainya. Nabi juga terus
melakukan modifikasi dalam masalah poligami dan mahar.
Perkawinan dalam Islam mengandung tiga unsur
penting; legal, sosial, dan agama. Secara legal, perkawinan merupakan sebuah
kontrak, ia dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak dan tanpa persetujuan
untuk memutus hubungan tersebut. Secara sosial, perkawinan telah memberi
penghormatan kepada wanita karena ia memperoleh status lebih tinggi dibanding
sebelum nikah terlebih pada masyarakat Arab pada masa pra-Islam yang dipandang
sebagai makhluk tanpa hak. Secara agama, perkawinan harus dilakukan menurut
tata cara yang dibenarkan oleh agama, seperti telah memenuhi syarat rukunnya,
wali, saksi, ijab, qabul, dan mahar. Hukum perkawinan Islam telah memadukan
antar aspek ibadah dan aspek muamalah.
Perkawinan Islam masih mempertahankan praktik
poligami yang secara umum ditemukan dalam masyarakat Arab, kemudian oleh Islam
dibatasi hanya empat isteri dengan syarat suami dapat membuktikan kemampuannya
berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Mahar dalam adat Arab merupakan
pembayaran yang diberikan kepada ayah si pengantin perempuan atau keluarganya,
maka Nabi memperbaiki masalah mahar ini dengan cara mahar tersebut adalah
hadiah perkawinan yang diberikan oleh si suami kepada isterinya untuk dimiliki
sebagai hak milik pribadi si isteri tersebut.
Hukum waris dalam Islam menganut prinsip-prinsip:
(1) suami dan isteri saling mewarisi; (2) keturunan dari jalur laki-laki/ayah
dan saudara sama-sama dapat mewarisi; (3) orang tua dan kakek-nenek dapat
mewarisi meskipun ada keturunan laki-laki; (4) seorang perempuan mendapat
bagian setengah dibanding seorang laki-laki.
Hukum waris Islam dapat dikategorikan sebagai sistem
warisan nir wasiat (intestate disposition) dalam arti harta warisan tidak dapat
dibagikan sesuai dengan kemauan pewarisnya, melankan si pewaris harus tunduk
mengikuti aturan-aturan Allah dalam al-Qur’an. Dalam hukum waris tradisi Arab,
si pewaris bebas memberikan dan menentukan kepada siapa dan berapa banyak harta
yang akan diwariskan (testamentary disposition).
Hukum
pidana Islam membedakan tiga kategori kriminal.
Kategori
pertama terdiri dari beberapa tindak kriminal yang disebut hudud yang
hukumannya telah ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah murtad, pencurian, hubungan seksual di luar nikah, menuduh
orang bebuat zina. Kelompok
Kategori kedua adalah qisas, yaitu kejahatan yang
hukumannya lebih didasarkan balas dendam. Perbuatan kriminal yang masuk dalam
kategori ini adalah semua jenis tindakan kriminal yang bertentangan dengan
prinsip kehidupan manusia, seperti pembunuhan, penyerangan, dan semua kejahatan
yang mengaharuskan hukuman retalisasi atau retribusi oleh si pelaku kepada
korban atau keluarganya. Bentuk hukumannya bisa berupa pembayaran diyat. Qisas
pada dasarnya memberikan hak penentuan hukuman kepada keluarga korban, apakah
mereka menginginkan agar si pelaku dihukum seberat-beratnya atau memberikan
ampunan sepenuhnya kepada pelaku kajehatan.
Kategori ketiga adalah ta’zir, yaitu semua jenis
tindakan kriminal yang secar umum dipandang ofensif atau merusak sistem
masyarakat (kriminal ringan/ minor felonies), sehingga bentuk humannya pun
tidak ditentukan secara pasti. Hakim diberi hak untuk menentukan jenis hukuman
sesuai dengan besar kecilnya kejahatan yang dilakukan, sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan. Dengan ta’zir ini hukuman tidak semata-mata dibatasi
pada asumsi pencegahan (deterrence) atau balasan (retribution) sebagaimana
diatur dalam hadd dan qisas, tetapi mengikuti perkembangan pemikiran filsafat
hukum modern.
Bisnis adalah salah satu alat yang diperlukan untuk
melangsungkan kehidupan manusia di dunia ini, yang merupakan persiapan untuk
kehidupan di akhiratn nanti. Prinsip utama bisnis Islam adalah melarang semua
bentuk manipulasi pasar, eksploitasi dan penipuan. Islam juga mencegah
terjadinya berbagai bentuk transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian
(gharar) karena dapat menimbulkan penipuan dan perselisihan. Islam melarang
praktik riba (bunga) sebagai respon atas praktik ketidakadilan sosial ekonomi
yang tertjadi pada masa pra-Islam.
Prinsip keuangan Islam harus memenuhi empat
kriteria, yaitu: (1) pelarangan praktik riba, (2) bagi hasil dan kerugian, (3)
pelarangan tindakan spekulasi, dan (4) kesakralan kontrak perjanjian (Zamir
Iqbal, Islamic Banking Gains Momentum, Expands Market and Competes with Conventional
Banking in Arab States, 1998).
Hukum
Islam di Indonesia
Islam datang ke Indonesia jauh sebelum pengaruh
Barat datang, ada yang mengatakan abad ke-11 ada pula yang berpendapat abad
ke-13. Tetapi masyarakat nusantara pada saat itu telah memiliki warisan dari
agama Budha dan Hindu yang sangat kuat. Dengan demikian Islam datang ke
Indonesia dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam (plural) dalam hal
tradisi dan nilai-nilai keagamaan.
Karena masyarakat Indonesia yang sangat beragam,
maka pendekatan sufisme menjadi pilihan yang tepat bagi para pendakwah Islam di
masa-masa awal melalui para wali. Para walisongo lah yang menjadi pelaku utama
gerakan dakwah dan memperoleh banyak pengikut. Dalam berdakwah para wali itu
tidak menolak nilai-nilai agama yang sudah dianut oleh masyarakat pada waktu
itu, bahkan sering menyatukan praktik keagamaan masyarakat pribumi dengan
ajaran Islam (lihat: Idrus H.A., Kitab Asrar Walisongo, CV.Bahagia, Pekalongan,
1999).
Dalam proses Islamisasi pada saat itu Ppara wali
menerapkan konsep mewarnai, bukan menentang masyarakat dalam berdakwah. Pola
seperti itu mendapat respon positif dari masyarakat. Dengan memanfaatkan
Sinkretisme (penyesuaian/keseimbangan) antara dua aliran, Islam dan budaya
lokal, maka terciptalah berbagai elemen dari bebagai tradisi menjadi sebuah
bentuk baru. (Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, New Haven: Yale
University Press, 1968).
Masyarakat pribumi mengenal agama Islam di awal
sejarah melalui tradisi heterodoksi (menyimpang dari kepercayaan resmi). Islam
disebarkan secara damai ke berbagai daerah dan kepulauan yang praktik agama
Budha/Hindu dan tradisi animisme maupun dinamisme masih menjadi kepercayaan
yang dominan. Kemampuan para wali dalam mengadopsi dan menyesuaikan dengan adat
dan praktik lokal yang bukan Islam, serta praktik ibadah dan cara pandang
mereka sangat cocok dengan gerakan massa rakyat.
Sufi telah menjadi bagian integral (tak terpisahkan)
dari praktik keagamaan masyarakat serta spiritualitas Islam. Berkat perjuangan
merekalah gerakan penyebaran Islam di Nusantara memperoleh hasil yang sangat
mengagumkan bagi perkembangan karakter Islam di Indonesia.
Hukum Islam Indonesia terbentuk dari hasil usaha
untuk memasukkan ajaran hukum Islam ke dalam situasi yang berbeda dari situasi
dan kondisi tempat asal hukum Islam lahir. Umat Islam Indoensia berusaha
melakukan domestikasi (penjinakan) tradisi hukum yang berasal dari ajaran Islam
dan mempraktikannya dengan cara mengintergasikan hukum itu dalam korpus
(lingkungan kumpulan) hukum Indonesia yang lebih luas (Kelompok
realis-kontekstual).
Di lain pihak muncul kelompok konservatif-literal
yang mengritik praktik keagamaan yang selama ini berlangsung. Kelompok
konservatif-literal ini cenderung melihat hukum Islam sebagai hukum ideal yang
tidak boleh diubah, meskipun telah terjadi perubahan masa dan keadaan. Menurut
mereka kinerja hukum suci harus baku dan abadi, dan orang wajib menerima
kebakuan hukum tersebut.
Untuk mencapai terwujudnya hukum Islam versi
Indonesia perlu dilakukan dengan memfokuskan usaha untuk mereformulasikan teori
hukum Islam (ushul al-fiqh) sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia
melalui penalaran hukum secara mandiri (ijtihad) dengan berbagai metodologi dan
pendekatan baru yang bisa berfungsi sesuai dengan pemahaman hukum masyarakat
Indonesia (Lihat Ahmad Hasan, Al-Boerhan, Persis, Bandung, 1928).
Substansif hukum Islam Indonesia cenderung
mengakomodasi aturan-aturan non-Islam yang masuk ke dalam sistem hukum agama
melalui rekayasa hukum. Hukum perkawinan misalnya, semua agama yang ada di
Nusantara selalu melibatkan pemimpin/tokoh komunitas (ulama, tetua adat,
sesepuh) dalam upacara pernikahan. Pernikahan bukan lagi menjadi sebuah kontrak
individu antara suami dan isteri tetapi lebih banyak melibatkan pihak-pihak
yang terkait yang sifatnya komunal. Di era modern, inisiasi maupun pemutusan
hubungan pernikahan adalah objek regulasi kantor pemerintah (KUA-Catatn Sipil)
dan Pengadilan (Agama-Negeri).
Dalam hukum perceraian, konsep Islam tentang ta’liq
talaq diubah. Institusi ini awalnya bernama djanji dalem (janji mulia) yang
dikenal dalam kebudayaan Jawa abad ke-17 ketika Raja Mataram membuat ketentuan
diputus bila kedapatan melakukan tindakan yang selah terhadap isteri (Jan
Prins, Adat Law and Muslim Religious Law in Modern Indonesia, 1951). Tujuan
utama institusi ini adalah fokus untuk menjaga hak-hak tradisional isteri dalam
pernikahan, sehingg setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suami otomatis
akan memutus hubungan pernikahan.
Dua pendekatan
Dalam budaya hukum di Indonesia terdapat tiga
tradisi normatif hukum; yaitu hukum adat pribumi, hukum Islam dan hukum sipil
Belanda. Hukum adat adalah tradisi hukum yang iikuti oleh masyarakat pribumi,
ia terbentuk berdasarkan nilai-nilai normatif yang mengakar sejak lama dan
dianggap memenuhi rasa keadilan dan harmoni masyarakat itu. Hukum adat
terbentuk berdasarkan sikap hidup masyarakat komunal dan hukumnya pun bersifat
komunal.
Hukum Islam dan hukum sipil Belanda merupakan dua
tradisi hukum yang diimpor dari luar yang masuk Nusantara melalui penyebaran
Islam dan kolonialisasi Belanda, namun hukum adat dan hukum Islam kadang begitu
menyatu dalam satu wilayah hukum, sebagian wilayah hukum adat dianggap sebagai
wilayah hukum Islam (Franz dan Keebet von Badan-Beckmann, Adat and Islam und
Staat- Rechtspluralismus in Indonesia, 2005).Proses asimilasi dan akulturasi
(percampuran) budaya dalam waktu lama dan terus menerus antara masyarakat
pribumi dengan norma dan nilai-nilai asing menyebabkan terjadinya pluralisme
hukum di Indonesia.
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi
menjadi dua bagian ; pertama, hukum Islam berlaku secara yuridis formal, yakni
sebagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya
dan berada dalam masyarakat (mu’amalah) dan sebagian telah menjadi hukum
positif berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kedua, hukum Islam berlaku
secara normatif, yaitu hukum Islam yang mempunyai sanksi atau padanan hukum
masyarakat muslim mengenai normatif hukum Islam dan bersifat normatif seperti
pelaksanaan ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji yang termasuk dalam kategori
ibadah murni (ibadah mahdah).
Kedua hukum di atas (yuridis formal dan normatif)
telah menjadi hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat Indonesia. Secara
sosiologis dan kultural, hukum Islam di Indonesia telah mengalir dan
berurat-akar di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa hukum Islam memang
fleksibel dan elastis dapat menyesuaikan dengan budaya dan lingkungan setempat.
Fonemena hukum Islam sebagai hukum yang hidup di
masyarakat telah melahirkan satu teori credo atau syahadah di kalangan
pemerhati hukum Islam seperti H.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa orang yang
telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum
Islam atas dirinya.
Prof. Rifyal Ka’bah menengarai terdapat perbedaan
dari segi pendekatan tentang penegakan syari’at Islam di Indonesia. Ada yang
cenderung menggunakan pendekatan struktural dan ada pula yang cenderung
menggunakan pendekatan kultural.
Pendekatan struktural menginginkan penegakkan
syari’at tersutruktur dalam sistem hukum Nasioanl dengan hukum subtansial da
hukum acara yang jelas dan penegakan yang jelas melalui lembaga penegakkan
hukum. Bila penegakan syari’at tidak terstruktur, dikhawatirkan tidak efektif
dalam mewujudkan tujuan syari’at, yaitu menjega kepentingan umum dengan
sebaik-baiknya.
Kecenderungan ini mendapat dukungan dalam bidang
politik melalui sejarah Piagam Jakarta, Departemen Agama, MPR, DPR, pendirian
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, pendirian bank-bank syari’ah, Badan
Arbitrasi Syari’ah, Dewan Syari’ah Nasional, dan lain-lain.
Undang-undang yang bernafaskan hukum Islam semakin
banyak dilahirkan oleh parlemen. Seperti Undang-undang No. 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Haji, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah,
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sementara pendekatan kultural menginginkan penegakan
syari’at tumbuh dari pembiasaan masyarakat melalui usaha persuasif seperti,
pendidikan, percontohan yang baik, dan lain-lain sesuai dengan penegertian
agama (ad-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar