MAKALAH
IJMA’ SEBAGAI SUMBER HUKUM
Di Ajukan Sebagai Tugas Kelompok Ushul Fiqh
Dosen Pengampu :
Amin Efendi, M.Pd.i
KELOMPOK 3:
Dwi Faolina (1282731)
Febrian Fristianda (1283021)
Gita Amelia (1283161)
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro
Tahun 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT kerena taufik dan hidayah Nya,
sehingga penulis dapat menyeleseikan makalah ini dengan baik. sholawat serta
salam penulis haturkan kepada junjungan
kita Nabi Besar Muhammad SAW, selanjut nya para penyusun ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1.
Amin Efendi,
M.Pd.i yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga tugas ini dapat
terseleseikan.
2.
Bpk dan ibu
dirumah yang telah memberikan dukungan dan do’a.
3.
Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu
terselesainya makalah ini.
Semoga penulisan ini bermanfaat dalam memelihara nilai-nilai lama
yang baik dan menggali nilai-nilai baru yang lebih baik atau yang terbaik
khususnya bagi penulis, kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan
makalah ini.
Metro, April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ijma’
a.
Ijma’ menurut
Bahasa
b.
Ijma’ Menurut
Istilah Ulama Ushul
2.
Macam-macam
Ijma’
a.
Ijma’ Sharih
b.
Ijma’ Sukuti
3.
Kehujjahan
Ijma’ Menurut Pandangan Para Ulama
4.
Kedudukan Ijma’
Sebagai Hukum Islam
5.
Sebab-sebab
Dilakukan Ijma’
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’
menurut istilah ushul adalah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu
masalah sesudah wafat Rosulallah terhadap hukum Syar’i, pada suatu peristiwa.
Ijma’ para mujtahid adalah suatu i’tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka
hukum ini adalah dalil terhadap suatu masalah. Definisi ini adanya yaitu
setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rosul masih hidup, maka dia sendiri
yang menjadi sumber Syar’i, tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam
syar’i dan tidak ada kesepakatan. Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih
hidup, karena nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbungan para sahabat yang
dipandang baik, dan itu tidak sebagai syari’at. Maksudnya, kesepakatan mereka
haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib,
sunah, makruh, haram, dan lain-lain.
Hal
itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa kesepakatan
tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat
Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin
Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain.
Adapun
mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat
ijma’. Sedang Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami’ mengartikan zaman
dalam definisi ijma’ di atas dengan zaman mana saja.
Ijma’
menurut hukum Islam adalah kesepakatan pendapat para mujtahid umat nabi
Muhammad SAW setelah beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah
tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ijma’
a.
Menurut bahasa
Ijma dilihat dari segi bahasa, ijma’
berarti berkumpul, sepakat, setuju atau sependapat.
Definisi
ijma’ menurut bahasa juga terbagi dalam dua arti:
1.
Bermaksud atau
niat, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat
Yunus ayat 71:
Artinya:
“Dan
bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada
kaumnya, “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadaku) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal,
karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanya). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepaku.”(QS. Yunus: 71)
Maksudnya,
semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau
tempuh. Dan hadits Rasulullah SAW. Yang artinya, “Barang siapa yang belum
siap untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
2.
Kesepakatan
terhadap sesuatu, suatu kaum dikatakan telah ber-Ijma’ bila mereka bersepakat
terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 15,
yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf a.s :
Artinya:
“Maka
tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka
memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) kami wahyukan
kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan
mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” (QS.
Yusuf: 15)
Yakni
mereka bersepakat terhadap rencana tersebut.
Adapun
perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh
satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua
orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. [1]
Sedangkan ijma’ menurut hukum islam adalah kesepakatan pendapat
para mujtahid umat nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat pada suatu masa
tertentu tentang masalah tertentu.
Ijma’ menurut istilah ushul adalah sepakat para mujtahid muslim
memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rosulallah terhadap hukum Syar’i, pada
suatu peristiwa. Ijma’ para mujtahid adalah suatu i’tibar terhadap suatu hukum.
Menurut mereka hukum ini adalah dalil terhadap suatu masalah. Definisi ini
adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rosul masih hidup, maka
dia sendiri yang menjadi sumber tasyri’, tidak ada penggambaran perbedaan
pendapat dalam syar’i dan tidak ada kesepakatan.[2]
b.
Ijma’ Menurut
Istilah Ulama Ushul
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’
menurut istilah, diantaranya:
a.
Pengarang kitab
Fushulul Bada’i berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid
dari ijma’ untuk Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap
hukum syara’
b.
Pengarang kitab
tahrir al-Kamal Bin Haman berpendapat
bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW.
Terhadap masalah syara’. (Al. Ghifari)[3]
Dapat disimpulkan bahwa Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid
muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum
syar’i, karena selagi Rasul masih hidup maka dia sendiri yang menjadi sumber
syar’i.
2.
Macam-macam
Ijma’
Ditinjau
dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ ini ada dua macam:
a.
Ijma’ Sharih
(bersih atau murni)
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi
bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-masing
mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.
Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari barbagai pendapat yang mereka
keluarkan tersebut.
Selain itu, bisa juga
pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan
fatwa tentang kejadian itu, mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid
pertama. Dan mujtahid ketiga mangamalkan apa yang telah difatwakan tersebut,
begitu seterusnya sehingga mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
b.
Ijma’ Sukuti
Ijma’ Sukuti adalah sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan
pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara, dan sebagian lagi
hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau berbeda pendapat
terhadap yang di kemukakan di dalam mengupas suatu masalah. Ijma’ Sukuti yaitu
ijma’ i’tibari. Karena orang yang berdiam diri itu belum tentu menyetujui,
belum pasti dia membenarkan dan meyakini kesepakatan tentang sidang ijma’ itu
untuk di jadikan hujah maka hal ini berbeda-beda pendapat ulama. Jumhur berpendapat
bahwa ini tidak boleh dijadikan hujah. Karena tidak keluar dari pendapat
beberapa orang mujtahid.
Sedangkan ulama Hanafi berpendapat, boleh dijadikan hujah, bila
mujtahid itu tetap berdiam diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan
pendapat. Berdiam diri disini tidak dapat disamakan dengan berdiam diri karena
takut, atau berolok-olok. Karena berdiam diri di tempat barfatwa itu menyatakan
sesuatu atau atau membuat peraturan atau undang-undang. Disamping itu dia
menafikan (meniadakan) terhadap apa yang menjadi halangan baginya mengemukakan
pendapat sekalipun berbeda. Kalau memang ternyata berbeda maka disini sikap
berdiam diri itu akan dipertajam.[4]
Adapun ditinjau dari pihak ini maka Ijma’ itu ada yang qathi dan
ada yang dzan.
1.
Ijma’ Qathi
Ijma’ qathi yaitu ijma’ syarih, dengan pengertian bahwa hukumnya
itu di qathi’kan olehnya. Tidak ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa,
dengan adanya khilaf ( perbedaan pendapat). Bukan lagi lapangan ijtihad
mengenai suatu peristiwa setelah diadakan Ijma’ Sharih terhadap hukum syar’i.
2.
Ijma’ dzanni
Yang
menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian bahwa hukumnya
itu masih diragukan. Dzan itu juga kuat, tidak boleh mengeluarkan peristiwa
dari lapangan yang dibentuk oleh ijtihad. Karena merupakan jalan pemikiran dari
jemaah mujtahid. Bukan keseluruhannya.[5]
Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma’, maka ijma’
bisa dibagi kepada beberapa bagian:
1.
Ijma’ al-
Ummat, ijma’ inilah yang dimaksud dengan dermisi pada awal pembahasa ini.
2.
Ijmaush Sahabat
yaitu persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap sesuatu urusan.
3.
Ijma’ Ahl
al-Madinah yaitu persesuaian paham ulama-ulama ahli madinah terhadap suatu
kasus. Ijma’ ini bagi Imam Malik adalah hujjah.
4.
Ijma’ Ahl
al-Kufah, Ijma’ ini dianggap hujjah oleh Imam Hanafi.
5.
Ijma’
al-Khulafa’ al-Arba’ah, ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas
dasar hadits :
‘ kamu wajib mengikuti sunahku dan sunnah Khulafah Rasyidin
sesudahku ( H.R. Ahmad Abu Daud, At-Turmudzi)”
6.
Ijma’
al-Syaykhayni yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum,
ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits yang
diriwayatkan oleh At-Turmudzi.
“ Ikutlah atau teladanilah kedua orang ini sesudahku, yaitu Abu
Bakar dan Umar”.
7.
Ijma’ al-Itrah
yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Bait.[6]
3.
Kehujjahan
Ijma’ Menurut Pandangan Para Ulama
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’ ,
misalnya, apakah ijma’ itu syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan ushul
fiqh atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma’?
Untuk menjawab pertanyaann-pertanyaan tersebut, para ulama berbeda
pendapat. Al-Bardawi berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’
itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu
bukan hujjah secara mutlak.
Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai
hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah
Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat
Nizam, Khawarij, dan Syi’ah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada
dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawa ‘idul Ushul dan Ma’aqidul
Ushul dikatakan bahwa ijma’ itu hujjah pada setiap masa. Namun, pendapat
itu ditentang oleh Daud yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa
sahabat.[7]
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu
merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat
mereka tentang ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1.
Kehujjahan
Ijma’ Sharih
Jumhur
telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu
permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan
menjadi masalah yang tidak boleh di-ijthadi lagi.[8]
Ibrahim
An-Nidzam, sebagian dari golongan syi’ah dan khawarij, berkata bahwa ijma’ itu
tidak termasuk hujjah.
·
Dalil-dalil
yang dikeluarkan oleh jumhur
Jumhur
mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan
ijma’, antara lain:
“barang siapa
yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan kami memasukkan ia ke dalam Jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali”. (QS. An-Nisa :
115)
Kehujjahan
dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT. Terhadap mereka yang tidak
mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan di masukkan
ke Neraka Jahannam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal ini
menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu
adalah bathil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh
orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti.
Dalil
yang digunakan oleh jumhur di atas dibantah kehujjahannya dalam ijma’. Bahwa
yang dimaksud jalannya orang-orang mukmin di atas adalah para pengikut
Rasulullah SAW, penolongnya dan penjaga dari musuh-musuhnya, bukan legalisasi
hukum terhadap kesepakatan ulama mijtahid. Maka maksud ayat di atas, sesuai
dengan yang ada dalam kitab Al-Burhan, adalah “sesungguhnya orang-orang yang
memusuhi Rasulullah SAW, dan para penentang jalan orang-orang beriman yang
menoong Rasulnya dan menjaga dari musuhnya, mereka akan dibiarkan oleh Allah
mengikuti hawa nafsunya, dan akan disiksa di akhirat dengan dimasukkan dalam
neraka Jahannam dan ditempatkan pada tempat yang hina.
Itulah
arti tekstual ayat, yang sesuai dengan Asbab Nuzul-nya, bahwa ayat itu
turun berkaitan dengan Bashir bin Ubairiq yang masuk Islam, tetapi kemudian ia
mencuri. Nabi memerintahkan untuk memotong tangannya, tetapi ia bisa kabur ke
Mekah dengan memanfaatkan kelengahan orang-orang beriman. Di Mekah, ia berusaha
untuk untuk mencuri sebuah rumah dengan cara melubangi dindingnya, dan ia pun
mati dalam keadaan kafir.[9]
Sehubungan dengan hal itu, pada firman Allah SWT. Dalam surat
An-Nisa : 48, disebutkan:
“sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
akan mengampuni dosa selain itu (syirik) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa :48)
Dengan
demikian, jelaslah bahwa ayat di atas bukan dalil tentang ijma’.
Pengarang At-Tharir berkata bahwa
“As-Subki pernah berkata, Imam Syafi”i meng-istinbath hukum dari dalil di atas
dan menyatakan bahwa dalil itu menunjukkan kehujjahan ijma’.
“dan demikian
(pula) kami telah menjadikan kamu umat (umat islam) umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia” (QS.Al-Baqarah :143)
Ayat
tersebut dikemukakan oleh Al-Amidi. Kehijjahan dari ayat tersbut adalah
keadilan mereka (para mujtahid) yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima
pendapat mereka. Seperti halnya menjadikan Rasul sebagai hujjah dengan menerima
sabdanya. Dengan mengartikan seperti itu, jelas bahwa pendapat mereka merupakan
hujjah bagi yang lainnya.
Muslim
Al-Tsubut berpendapat bahwa keadilan itu tidak mesti menghilangkan kesalahan
yang bisa dikategorikan sebagai pembuatan maksiat. Namun, yang mesti
ditekankandari ayat tersebut adalah keutamaan ijma’ terdahulu.
2.
Kehujjahan
Ijma’ Sukuti
Ijma
Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya dikalangan para ulama. Sebagian dari
mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyatakan
sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang
menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka
berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian
atau bisa juga tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada
satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka
terhadap mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i atau
zhanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari
seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai
hujjah.
Sebagian
besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma sukuti
merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ Sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap
pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya. Bila memenuhi
persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang
kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’, karena kesepakataan
mereka terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang
qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan
dengan ijma’ sharih.
Al-Kurhi
dari golongan Hanafi dan Al-Amidi dari golongan syafi’i menyatakan bahwa ijma’
sukuti adalah hujjah yang bersifat zhanni. Pendapat merekalah yang kita anggap
lebih baik. Karena diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan pendapatnya kalau
memenuhi syarat ijma sukuti tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan terhadap
para mujtahid lainnya. Tetapi boleh dikatakan diamnya mereka itu diantara
menyepakati dan tidak. Sikap tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh kaum
ulama salaf. Mereka tidak melarang untuk menyatakan hag meskipun tidak mampu
melaksanakan dan ada sebagian yang mengingkarinya.[10]
Contohnya,
ketika Mu’adz bin Jabal melaporkan pada Umar bin Khathab bahwa ia bermaksud
menghukum wanita hamil yang melakukan zina, ia berkata, “Seandainya Allah
mejadikan kepada kamu keselamatan pada punggungnya (perempuan), maka kamu tidak
akan menjadikan bayi perempuan itu jalan keselamatan”, maka Umar berkata :
“kalau bukan Mu’adz (yang berkata) maka Umar akan memarahinya”.
Begitu
pula ketika seorang perempuan berkata kepada Umar bin Khathab bahwa ia
mendengar kaum muslimin tidak boleh memberikan mahar pada perempuan melebihi
empat ratus dirham dan mengharuskan agar memasukkan selebihnya kepada baitul
mal. Ia berkata, “tidakkah Allah pernah berfirman:
واتيتم احداهن قنطرا
Artinya:
“Apakah
Umar melamarnya?” Beliau berkata, “perempuan tersebut benar dan Umar salah.”
Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat diketahui dengan
menelaah kehidupan mereka. Bila diamnya sebagian mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai
ketetapan qath’i tetapi zhanni, maka kehujjahan ijma’ sukuti tidak bisa
dikatakan qath’i, melainkan zhanni.[11]
4.
Kedudukan
Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Islam
Kebanyakan
ulama’ mengetahui bahwa ujma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan
hukum islan dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. Kekuatan
ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash al-Qur’an dan Hadits,
diantaranya adalah QS. An-Nisa: 59.
يا أيّها الّذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرّسول وأولى
الأمر منكم
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”.
Rasulullah SAW bersabda:
لا تجتمع أمّتى على الَضّلالة (رواه ابن أبى
عاصم)
“Ummatku tidak bersepakat atas
kesesatan”.
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه أحمد)
“Apa yang dilihat oleh orang Islam
sebagai kebaikan, maka menurut Allah STW itu juga baik”.
Dengan demikian, pada dasarnya ijma’
dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang di
dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
5.
Sebab-sebab
dilakukan Ijma’
- karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan
status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak
diketemukan hukumnya;
- Karena nash Al-Qur’an dan Al-Hadist sudah tidak turun
lagi atau telah berhenti;
- Karena pada masa dahulu itu jumlah mujtahid tidak
terlalu banyak dan mereka mudah dikoordinir untuk melakukan kesepakatan
dalam menentukan status hukuk suatu permasalah yang timbul pada saat itu;
- di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan
masih mudah menyatukan pendapat.
KESIMPULAN
Ijma menurut para ulama adalah:
a.
Pengarang kitab
Fushulul Bada’i berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid
dari ijma’ untuk Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap
hukum syara’
b.
Pengarang kitab
tahrir al-Kamal Bin Haman berpendapat
bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW.
Terhadap masalah syara’. (Al. Ghifari)
Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid muslim memutuskan suatu
masalah sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i, karena selagi
Rasul masih hidup maka dia sendiri yang menjadi sumber syar’i.
Ijma dilihat dari cara terjadinya
ada dua:
a)
Ijma’ Sharih
b)
Ijma’ Sukuti
Ditinjau
dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma’, maka ijma’ bisa dibagi kepada
bebeapa bagian:
Ø Ijma’ al-ummat
Ø Ijmaus sahabat
Ø Ijma’ Ahl al-Madinah
Ø Ijma’ Ahl al-kufah
Ø Ijma’ Al-Khulafa’ al-Arba’ah
Ø Ijma’ al-Syaykhayni
DAFTAR PUSTAKA
· Prof.
DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia.
· Prof.
H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM,
Jakarta: Kencana, 2010.
· Ilmu
Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta, 2012.
[1] Prof.
DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal
68-69
[2] Ilmu
Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta, 2012. Hal 49
[3] Prof.
DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 69
[4]Ilmu
Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta. Hal 57
[5] Ibid
[6] Prof. H.
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM,
Jakarta: Kencana, 2010. Hal 76
[7] Prof.
DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 73
[8] Ibid hal
73-74
[9] Ibid hal
74
[10] Prof.
DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 80
[11] Ibid 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar