Selasa, 19 November 2013

Model Pembelajaran Humanis


MODEL PEMBELAJARAN HUMANIS

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Dosen Pengampu : Zusy Aryanti, S.Psi, MA

Logo_STAIN_Jurai_Siwo_Metro_Lampung

Disusun oleh kelompok 3:
Dani Setiawan (1282491)
Gesti Aqmalina(1283141)
Putri Nur Fauziah(1284311)
Febrian Fristianda(1283021)
Frendy Pratama(



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN)
JURAI SIWO METRO LAMPUNG
TAHUN 2013



KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat taufik dan hidayah – Nya sehingga Penulisan Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah saya ini berjudul “METODE PEMBELAJARAN HUMANIS “
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Dosen Pembimbing Ibu Zusy Aryanti,S.Psi, MA  serta berbagai bantuan dari  berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.

Wassalam,


Metro, 16 Oktober 2013


Penulis









DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
BAB III KESIMPULAN...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................



PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 1940-an munculah suatu perfektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam menerapkan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli psikologo klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler, bukan merupakan hasil dari penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenal denga psikologi humanistik, eksestensial, perkemudian dikenal sebagai psikolog humanistik, eksestensial, perceptual, atau fenomenologikal. Psikolog ini berusaha untuk memahami prilaku seseorang dari sudut si pelaku, bukan dari pegamat.
Dalam dunia pendidikan, aliran humanistik lahir pada tahun 1960 sampai 1970-an dan munhkin perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terahir pada abad 20 ini pun juga akan menuju pada arah ini.
A.     PSIKOLOGI HUMANISTIK
Abraham Maslow (1908-1970) dapat di pandang sebagai bapak dari psikologis humnistik. Gerakan ini merupakan gerakan psikologis yang merasa tidak puas  dengan psikologis behavioristik dan psikoanalisis, dan mencari alternatif psikologis yang fokusnya adalah manusia dengan ciri-ciri eksistensinya. Gerakan ini kemudian dikenal dengan psikologis humanistik (Misiak dan Sexton, 1988).
Ia tertarik oleh apa yang dikemukakan oleh Adler, dan ia sendiri dijadikan contoh teori Adler tentang rasa inferior dan kompensasi (Scultz dan schuluz, 1992). Namun kompensasinya semula tidak dapat di capainya dan ia pindah menekuni buku, dan dalam hal ini ia berhasil.
Gerakan psikolog humanistik mulai di Amerika Serikat pada trahun 1950 dan terus berkembang. Pada tokohnya berpendapat bahwa psikolog terutama psikolog behavioristik mendehumanisai manusia. Sekalipun psikologi behavioristik menunjukan keberhasilannya yang cukup spektakuler dalam bidang-bidang tertentu, namun sebenarnya gagal untuk memberikan sumbagan dalam pemahaman manusia dan kondisi eksistensinya.
Dalam suasana ketidakpuasan terhadap psikologis behavioristik, muncul berbagai macam buku ataupun artikel yang berkisar pada penekanan soal person. Misalnya Maslow dengan bukunya yang berjudul “motivation and personality” (1954); bukunya Alpord yang berjudul”becoming” (1955), yang menekan pada sifat-sifat yang ada pada manusia. Karena itu para ahli psikologi humanistik mengarahkan perhatiannya pada “humanisasi” psikologi, yang menekankan pada keunikan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang di kendalikan bukan oleh kekuatan ketidaksadaran –psikoanalisi--, melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri, pada tahun 1958 Maslow menamakan pendidikan psikologis humanistik “sebagai kekuatan ketiga “, di samping psikologis behavioristik dan psikoanalisis sebagai kekuatan pertama dan kekuatan ketiga.
Maslow semakin terkenal karena teori motivasinya, yang tercermin dalam bukunya”Motifation and personality”. Ia mengajukan teori tentang hieraci of needs. Kebutuhan-kebutuhan atau needs ini adalah innate, yaitu : (1) kebutuhan fisiologis; (2) kebutuhan akan rasa aman; (3) kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki; (4) kebutuhan akan penghargaan; kebutuhan untuk aktualisasi diri. Apabila kebutuhan yang tengah terlampaui, maka kebutuhan lain yang lebih tinggi menuntut untuk dipenuhi, demikian setrusnya. Kebutuhan untuk aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang paling tinggi.
Menurut Maslow psikologis harus lebih manusiawi, yaitu lebih memusatkan perhatiannya pada masalah manusiawi. Psikologis harus mendalami sifat manusia, selain mempelajari mempelajari prilaku manusia yang nampak juga mempelajari yang tidak tampak. Mempelajari kesadaran sekaligus ketidaksadaran. Intropeksi sebagai suatu sistim penelitian yang telah disingkirkan, haruss dikembalikan lagi sebagai mode penelitian psikologis. Psikologis mempelajari manusia sebagai tanah liat yang pasif, yang di tentukan oleh kekuatan dari luar, tetapi manusia adalah makhlik yang aktif, menentukan geraknya sendiri, ada kekuatan dari dalam untuk menentukan prilakunya.
Ada empat ciri psikologis yang berorientasi humanistik, yaitu :
a)      Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer dalam mempelajari manusia.
b)      Menekankan pada kualitas yang khas manusia, seperti kretivitas, akualisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran dari manusia yang mekanistis dan reduksianalistis.
c)      Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih maslah yang akan dipelajari dan prosedur penelitian yang akan digunakan.
d)      Serta  perhatian penuh dan meletakan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia  serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu.

1.      Teori-Teori Belajar dari Psikolog humanistik
A.     Orientasi
Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individual dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu para si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu untuk mengenal dirinya mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri.
B.     Awal Timbulnya psikologi Humanistik
Pada akhir tahun 1940-an munculah suatu perfektif psikologi baru. Orang-orang yang terlibat dalam menerapkan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli psikologo klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler, bukan merupakan hasil dari penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenal denga psikologi humanistik, eksestensial, perkemudian dikenal sebagai psikolog humanistik, eksestensial, perceptual, atau fenomenologikal. Psikolog ini berusaha untuk memahami prilaku seseorang dari sudut si pelaku, bukan dari pegamat.
Dalam dunia pendidikan, aliran humanistik lahir pada tahun 1960 sampai 1970-an dan munhkin perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terahir pada abad 20 ini pun juga akan menuju pada arah ini.
C.     Behaviorisme Versus Humanistik
Dalam menyoroti masalah prilaku, ahli-ahli psikologi behavioral dan humanistik mempunyai pandangan yang sangat berbeda. Perbedaan ini dikenal sebagai freedom determination issue. Para behaviorest memandang orang sebagai makhluk reaktif yang memberikan responnya terhadap lingkungannya. ‘pengalaman lampau dan pemeliharaan akan membentuk prilaku mereka. Sebaliknya para humanistik mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu menentukan prilakunya sendiri. Mereka bebas dalam memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh lingkungan.
1.      Implikasi Teori Belajar Humanistik
a.      Guru Sebagai Fasilitator
psikolog humanistik memberi perhatian atas guru guru sebagai fasilitator. Yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas si fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa petunjuk.
1.      Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada pecintaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
2.      Fasilitator mrmbantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan didalam kelas dan  juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat lebih umum.
3.      Dia mempercai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.      Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai sumber yang fleksibel untuk dimanfaatkan oleh kelompok.
6.      Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
7.      Bilamana cuaca penerimaan kelas telah mantap, fasilitaor berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang lain.
8.      Dia mengambil prakasa untuk ikut serta dalam kelompok perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau di tolak oleh siswa.
9.      Dia harus tetap wasspada terhadap ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10.  Di dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasannya sendiri.
b.      Ciri-Ciri Humanistik Mengenai Guru-Guru yang Baik dan Kurang Baik
Menurut Hammacheek, guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru yang ”manusiawi”. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, dan demokratis dari pada autokratik, dan mereka harus mampu berhubungan dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara kelompok. Ruang kelas tampak seperti suatu perusahaan kecil dengan pengertian bahwa mereka lebih baik terbuka, spontanitas, dan mampu menyesuaikan diri kepada perubahan. Guru yang tidak efektif jelas kurang memiliki rasa humor, mudah menjadi tidak sabar, menggunakan komentar-komentar yang melukai dan mengurangi rasa ego, kurang terintregas, cenderung bertindak agak otoriter, dan biasanya kurang peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswa mereka.  
Banyak ahli psikolog humanistik atau ahli psikologis perseptual membedakan guru-guru yang efektif dan yang kurang efektif dengan menentuka apa yang mereka percayai tentang konsep diri sendiri dan apa yang mereka percayai tentang orang lain.
Combs dan kawan-kawan percaya bahwa guru-guru merasa tenteram terhadap diri mereka sendiri dan kemampuan mereka sendiri, mereka akan dapat memberikan perhatiannya kepada orang lain, dan apabila mereka mempunyai perasaan mempunyai bekal yang tidak cukup, mereka mungkin akan memberikan respon kepada siswa-siswa mereka dengan cara mengembangkan aturan-aturan yang kaku dan bersifat otoriter dan peraturan itu digunakan untuk melindungi konsep diri masing-masing.
Menurut combs dan kawan-kawan, ciri-ciri guru yang baik ialah :
1.      Guru yang mempunyai anggapan bahwa orang lain itu mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah mereka sendiri dengan baik.
2.      Guru yang melihat bahwa orang lain mempunyai sifat ramah dan bersahabat dan bersifat ingin berkembang.
3.      Guru yang cenderung melihat orang lain sebagai orang yang sepatutnya dihargai.
4.      Guru yang melihat orang-orang dan prilaku mereka pada dasarnya berkembang dari dalam, jadi bukan merupakan produk dari peristiwa-peristiwa eksternal yang di bentuk dan yang di gerakan. Dia melihat orang-orang itu mempunyai kreatifitas dan dinamika, jadi bukan orang yang pasif atau lamban.
5.      Guru yang menganggap orang lain itu dasarnya dapat di percaya dan dapat diandalkan dalam pengertian dia akan berprilaku menurut aturan-aturan yang ada.
6.      Guru yang melihat orang lain dapat memenuhi dan meningkatkan dirina, bukan mengahalangi, apalagi mengancam.

c.       Guru yang Sejati
Mengajar yang baik bukan sekadar persoalan teknik-teknik dan metdologi belajar saja. Untuk menjaga disiplin kelas, guru sering bertindak otoritar, mejauhi siswa, bersikap dingin itu menyembunyikan rasa takut kalau dianggap lemah. Nasihat yang sering diberikan misalnya agar guru bertindak keras pada saat permulaan.
ada beberapa mitos pengajaran yang telah berlaku beberapa generasi :
1.      guru harus bersikap tenang, tak berlebihan dan selalu dingin dalam menghadapi segala situassi masalah.
2.      Guru harus menyukai siswa-siswanya secara adil.
3.      Guru harus memperlakukan siswanya sama, tanpa memperdulikan watak-watak individual siswa.
4.      Guru harus menyembunyikan perasaannya meskipun terluka hatinya, ia harus tidak menunjukannya, terutama dihadapan siswa-siswanya.
5.      Guru diperlukan oleh siswa-siswanya, karena para siswa belum bisa berjalan sendiri tanpa bantuan seorang guru.
6.      Guru harus menjawab semua pertanyaan yang disampaikan oleh siswanya.

Hal ini menimbulkan pengertian salah tentang guru, sehingga guru yang menghindari situasi ini dengan tidak mau mengakui kesalahannya atau ketidaktahuannya.  

Sesungguhnya guru adalah manusia biasa. Guru sejati bukanlah makhluk yang berbeda dengan siswa-siswanya. Ia bukan makhluk yang serba hebat. Ia harus dapat berpartisipasi didalam semua kegiatan yang dilakukan oleh para siswanya dan dapat mengembangkan rasa persahabatan secara pribadi dengan siswa-siswanya dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan karenanya. Rasa was-was, takut dalam keadaan tertentu adalah hal yang wajar.
 
d.      Aplikasi Psikologi Humanistik pada Pendidikan
Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan, pertanggung jawaban sosial, dan bahan pengajaran khusus. Mereka percaya bahwa masalah ini tak dapat diserahkan begitu saja pada siswa. Pada tipe ini, guru memberi tekanan akan perlunya sesuatu rencana pelajaran yang telah disiapkan dengan baik, materi yang disusun dengan logis, dan tujuan intruksional yang tertentu, dan mereka mempunyai kecenderungan untuk “memperoleh jawaban yang benar”. Guru senang pada suatu pendekatan sistematik yang memanfaatkan pengetahuan hasil penelitian pada kondisi-kondisi belajar yang diperlukan bagi siswa untu mencapai hasil yang telah ditentukan.
Pendekatan humanistik diikhtisarkan sebgai berikut :
1.      Siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu perangkat tujuan yang telah ditentukan pula dan para siswa bebas menentukan cara mereka sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri.
2.      Pendidik aliran humanistik mempunai perhatian yang murni dalam pengembangan anak-anak perbedaan-perbedaan individual.
3.      Ada perhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan perkembangan siswa secara individual.
Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan pendekatan humanistik adalah perkembangan nilai-nilai dani sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif.
Pendekatan sistim alternatif lain mungkin saja direncanakan sehingga siswa dapat memilih salah satu rencana pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan beajar dan sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis pemecahan masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang akan di lakukan. Pembatasan praktis dalam pemilihan hal-hal itu munkin ditentukan oleh keterbatasan bahan-bahan pelajaran dan keadaan, tetapi dalam pendekatan sistem itu sendiri tidak ada yang membatasi keanekaragaman perencanaan pendidikan ini.

e.       Aliran Teori Humanistik
Bagi para penganut teori  ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori humanistik termasuk teori yang abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya”isi” dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dalam proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini bersifat elektil. Teori apa pun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu) dapat tercapai.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel (1968) yang disebut “belajar bermakna”. Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam buku teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford, serta Habermas, yang masing-masing pendapatnya akan dibahass berikut ini.
1.      Bloom dan Khatwool
Dalam hal ini Bloom dan Khatwool menunjukan apa yang memungkinkan dikuasai (dipelajari)  oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan.
2.      Kolb
Sementara itu, seorang ahli lain bernama Kolb membagi tahapan belajar  menjadi empat tahapan.
a.       Tahap dalam proses belajar.
b.      Tahap obserfasi.
c.       Tahap membuat teori.
d.      Tahap experimen aktif.


3.      Honey dan Mumfrod
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumfrod membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam tipe siswa, yakni :
1.      Aktifis.
2.      Reflektor.
3.      Teoris.
4.      Pragmatis.
Ciri siswa yang bertipe aktrivis adalah mereka yang suka melibatkan diri mereka dengan pengalaman-pengalaman mereka yang baru. Mereka cenderung berfikir terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu.
Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati dalam mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung lebih suka menimbeng-nimbang secara cermat, baik atau buruk krputusan itu.
4.      Habermas
Ahli psikolog lain adalah Habernas yang dalam pandangannya belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habernas mengelompokan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Belajar teknis
Siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan itu.
2.      Belajar praktis
Siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahapan ini tapi yang lebih diutamakan dalam interaksi ini adalah antara dirinya dan orang-orang disekelilingnya.
3.      Beajar emansipantoris
Siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habernas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural dianggap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.




                                              KESIMPULAN

Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap individual dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu para si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu untuk mengenal dirinya mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri.
Bagi para penganut teori  ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori humanistik termasuk teori yang abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya”isi” dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dalam proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini bersifat elektil. Teori apa pun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu) dapat tercapai


DAFTAR PUSTAKA
Uno, Hamzah. 2006. Orientasi baru dalam psikologi pembelajaran. Jakarta : PT Bumi Aksara
Soemanto , wasty. 1998. Psikologi pendidikan. Jakarta : PT Rineka cipta
Walgito, bimo. 2004. Pengantar psikologi umum. Y

Tidak ada komentar:

Posting Komentar