MODEL
PEMBELAJARAN HUMANIS
DISUSUN UNTUK
MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Dosen Pengampu
: Zusy Aryanti, S.Psi, MA
Disusun oleh
kelompok 3:
Dani Setiawan
(1282491)
Gesti
Aqmalina(1283141)
Putri Nur
Fauziah(1284311)
Febrian Fristianda(1283021)
Frendy Pratama(
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI(STAIN)
JURAI SIWO
METRO LAMPUNG
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat taufik dan hidayah – Nya sehingga Penulisan Makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah saya ini berjudul “METODE PEMBELAJARAN HUMANIS “
Penulis menyadari
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan
penulis yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari
Dosen Pembimbing Ibu Zusy Aryanti,S.Psi, MA serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat
menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.
Wassalam,
Metro, 16 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN..............................................................................
BAB
II PEMBAHASAN...............................................................................
BAB III KESIMPULAN...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
PENDAHULUAN
Pada akhir
tahun 1940-an munculah suatu perfektif psikologi baru. Orang-orang yang
terlibat dalam menerapkan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini,
misalnya ahli psikologo klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler, bukan
merupakan hasil dari penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini
berkembang dan kemudian dikenal denga psikologi humanistik, eksestensial,
perkemudian dikenal sebagai psikolog humanistik, eksestensial, perceptual, atau
fenomenologikal. Psikolog ini berusaha untuk memahami prilaku seseorang dari
sudut si pelaku, bukan dari pegamat.
Dalam dunia
pendidikan, aliran humanistik lahir pada tahun 1960 sampai 1970-an dan munhkin
perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terahir pada abad 20
ini pun juga akan menuju pada arah ini.
A.
PSIKOLOGI
HUMANISTIK
Abraham Maslow (1908-1970) dapat di pandang sebagai bapak dari
psikologis humnistik. Gerakan ini merupakan gerakan psikologis yang merasa
tidak puas dengan psikologis
behavioristik dan psikoanalisis, dan mencari alternatif psikologis yang
fokusnya adalah manusia dengan ciri-ciri eksistensinya. Gerakan ini kemudian
dikenal dengan psikologis humanistik (Misiak dan Sexton, 1988).
Ia tertarik oleh apa yang dikemukakan oleh Adler, dan ia sendiri
dijadikan contoh teori Adler tentang rasa inferior dan kompensasi (Scultz dan
schuluz, 1992). Namun kompensasinya semula tidak dapat di capainya dan ia
pindah menekuni buku, dan dalam hal ini ia berhasil.
Gerakan psikolog humanistik mulai di Amerika Serikat pada trahun
1950 dan terus berkembang. Pada tokohnya berpendapat bahwa psikolog terutama
psikolog behavioristik mendehumanisai manusia. Sekalipun psikologi
behavioristik menunjukan keberhasilannya yang cukup spektakuler dalam
bidang-bidang tertentu, namun sebenarnya gagal untuk memberikan sumbagan dalam
pemahaman manusia dan kondisi eksistensinya.
Dalam suasana ketidakpuasan terhadap psikologis behavioristik,
muncul berbagai macam buku ataupun artikel yang berkisar pada penekanan soal
person. Misalnya Maslow dengan bukunya yang berjudul “motivation and
personality” (1954); bukunya Alpord yang berjudul”becoming” (1955),
yang menekan pada sifat-sifat yang ada pada manusia. Karena itu para ahli
psikologi humanistik mengarahkan perhatiannya pada “humanisasi”
psikologi, yang menekankan pada keunikan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang di kendalikan bukan oleh
kekuatan ketidaksadaran –psikoanalisi--, melainkan oleh nilai-nilai dan
pilihan-pilihannya sendiri, pada tahun 1958 Maslow menamakan pendidikan
psikologis humanistik “sebagai kekuatan ketiga “, di samping psikologis
behavioristik dan psikoanalisis sebagai kekuatan pertama dan kekuatan ketiga.
Maslow semakin terkenal karena teori motivasinya, yang tercermin
dalam bukunya”Motifation and personality”. Ia mengajukan teori tentang hieraci
of needs. Kebutuhan-kebutuhan atau needs ini adalah innate,
yaitu : (1) kebutuhan fisiologis; (2) kebutuhan akan rasa aman; (3) kebutuhan
akan rasa cinta dan memiliki; (4) kebutuhan akan penghargaan; kebutuhan untuk
aktualisasi diri. Apabila kebutuhan yang tengah terlampaui, maka kebutuhan lain
yang lebih tinggi menuntut untuk dipenuhi, demikian setrusnya. Kebutuhan untuk
aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang paling tinggi.
Menurut Maslow psikologis harus lebih manusiawi, yaitu lebih
memusatkan perhatiannya pada masalah manusiawi. Psikologis harus mendalami
sifat manusia, selain mempelajari mempelajari prilaku manusia yang nampak juga
mempelajari yang tidak tampak. Mempelajari kesadaran sekaligus ketidaksadaran.
Intropeksi sebagai suatu sistim penelitian yang telah disingkirkan, haruss
dikembalikan lagi sebagai mode penelitian psikologis. Psikologis mempelajari
manusia sebagai tanah liat yang pasif, yang di tentukan oleh kekuatan dari
luar, tetapi manusia adalah makhlik yang aktif, menentukan geraknya sendiri,
ada kekuatan dari dalam untuk menentukan prilakunya.
Ada empat ciri psikologis yang berorientasi humanistik, yaitu :
a)
Memusatkan perhatian pada person
yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena primer
dalam mempelajari manusia.
b)
Menekankan pada kualitas yang khas
manusia, seperti kretivitas, akualisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran dari
manusia yang mekanistis dan reduksianalistis.
c)
Menyandarkan diri pada kebermaknaan
dalam memilih maslah yang akan dipelajari dan prosedur penelitian yang akan
digunakan.
d)
Serta perhatian penuh dan meletakan nilai yang
tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia
serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap
individu.
1.
Teori-Teori Belajar dari Psikolog
humanistik
A.
Orientasi
Perhatian
psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap
individual dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka
hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik
aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan
perasaan dan perhatian siswa.
Tujuan utama
para pendidik ialah membantu para si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu untuk mengenal dirinya mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri.
B.
Awal Timbulnya
psikologi Humanistik
Pada akhir
tahun 1940-an munculah suatu perfektif psikologi baru. Orang-orang yang
terlibat dalam menerapkan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini,
misalnya ahli psikologo klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler, bukan
merupakan hasil dari penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini
berkembang dan kemudian dikenal denga psikologi humanistik, eksestensial, perkemudian
dikenal sebagai psikolog humanistik, eksestensial, perceptual, atau
fenomenologikal. Psikolog ini berusaha untuk memahami prilaku seseorang dari
sudut si pelaku, bukan dari pegamat.
Dalam dunia
pendidikan, aliran humanistik lahir pada tahun 1960 sampai 1970-an dan munhkin
perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang terahir pada abad 20
ini pun juga akan menuju pada arah ini.
C.
Behaviorisme
Versus Humanistik
Dalam menyoroti
masalah prilaku, ahli-ahli psikologi behavioral dan humanistik mempunyai
pandangan yang sangat berbeda. Perbedaan ini dikenal sebagai freedom
determination issue. Para behaviorest memandang orang sebagai
makhluk reaktif yang memberikan responnya terhadap lingkungannya. ‘pengalaman
lampau dan pemeliharaan akan membentuk prilaku mereka. Sebaliknya para humanistik
mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu menentukan prilakunya sendiri. Mereka
bebas dalam memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh lingkungan.
1.
Implikasi Teori
Belajar Humanistik
a.
Guru Sebagai
Fasilitator
psikolog
humanistik memberi perhatian atas guru guru sebagai fasilitator. Yang berikut
ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas
si fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa
petunjuk.
1.
Fasilitator sebaiknya memberi
perhatian kepada pecintaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman
kelas.
2.
Fasilitator mrmbantu untuk
memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan didalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat
lebih umum.
3.
Dia mempercai adanya keinginan dari
masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya,
sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna
tadi.
4.
Dia mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.
Dia menempatkan dirinya sendiri
sebagai sumber yang fleksibel untuk dimanfaatkan oleh kelompok.
6.
Di dalam menanggapi
ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat
intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara
yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
7.
Bilamana cuaca penerimaan kelas
telah mantap, fasilitaor berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa
yang lain.
8.
Dia mengambil prakasa untuk ikut serta
dalam kelompok perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga
tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja
digunakan atau di tolak oleh siswa.
9.
Dia harus tetap wasspada terhadap
ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10. Di
dalam berperan sebagai fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan
menerima keterbatasannya sendiri.
b.
Ciri-Ciri
Humanistik Mengenai Guru-Guru yang Baik dan Kurang Baik
Menurut
Hammacheek, guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru yang ”manusiawi”.
Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, dan demokratis dari pada
autokratik, dan mereka harus mampu berhubungan dengan para siswa, baik secara
perorangan ataupun secara kelompok. Ruang kelas tampak seperti suatu perusahaan
kecil dengan pengertian bahwa mereka lebih baik terbuka, spontanitas, dan mampu
menyesuaikan diri kepada perubahan. Guru yang tidak efektif jelas kurang
memiliki rasa humor, mudah menjadi tidak sabar, menggunakan komentar-komentar
yang melukai dan mengurangi rasa ego, kurang terintregas, cenderung bertindak
agak otoriter, dan biasanya kurang peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswa
mereka.
Banyak ahli
psikolog humanistik atau ahli psikologis perseptual membedakan guru-guru yang
efektif dan yang kurang efektif dengan menentuka apa yang mereka percayai
tentang konsep diri sendiri dan apa yang mereka percayai tentang orang lain.
Combs dan
kawan-kawan percaya bahwa guru-guru merasa tenteram terhadap diri mereka
sendiri dan kemampuan mereka sendiri, mereka akan dapat memberikan perhatiannya
kepada orang lain, dan apabila mereka mempunyai perasaan mempunyai bekal yang
tidak cukup, mereka mungkin akan memberikan respon kepada siswa-siswa mereka
dengan cara mengembangkan aturan-aturan yang kaku dan bersifat otoriter dan
peraturan itu digunakan untuk melindungi konsep diri masing-masing.
Menurut combs
dan kawan-kawan, ciri-ciri guru yang baik ialah :
1.
Guru yang mempunyai anggapan bahwa
orang lain itu mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah mereka sendiri
dengan baik.
2.
Guru yang melihat bahwa orang lain
mempunyai sifat ramah dan bersahabat dan bersifat ingin berkembang.
3.
Guru yang cenderung melihat orang
lain sebagai orang yang sepatutnya dihargai.
4.
Guru yang melihat orang-orang dan
prilaku mereka pada dasarnya berkembang dari dalam, jadi bukan merupakan produk
dari peristiwa-peristiwa eksternal yang di bentuk dan yang di gerakan. Dia
melihat orang-orang itu mempunyai kreatifitas dan dinamika, jadi bukan orang
yang pasif atau lamban.
5.
Guru yang menganggap orang lain itu
dasarnya dapat di percaya dan dapat diandalkan dalam pengertian dia akan
berprilaku menurut aturan-aturan yang ada.
6.
Guru yang melihat orang lain dapat
memenuhi dan meningkatkan dirina, bukan mengahalangi, apalagi mengancam.
c.
Guru yang
Sejati
Mengajar yang
baik bukan sekadar persoalan teknik-teknik dan metdologi belajar saja. Untuk
menjaga disiplin kelas, guru sering bertindak otoritar, mejauhi siswa, bersikap
dingin itu menyembunyikan rasa takut kalau dianggap lemah. Nasihat yang sering
diberikan misalnya agar guru bertindak keras pada saat permulaan.
ada beberapa mitos pengajaran yang telah berlaku beberapa generasi
:
1.
guru harus bersikap tenang, tak
berlebihan dan selalu dingin dalam menghadapi segala situassi masalah.
2.
Guru harus menyukai siswa-siswanya
secara adil.
3.
Guru harus memperlakukan siswanya
sama, tanpa memperdulikan watak-watak individual siswa.
4.
Guru harus menyembunyikan
perasaannya meskipun terluka hatinya, ia harus tidak menunjukannya, terutama
dihadapan siswa-siswanya.
5.
Guru diperlukan oleh siswa-siswanya,
karena para siswa belum bisa berjalan sendiri tanpa bantuan seorang guru.
6.
Guru harus menjawab semua pertanyaan
yang disampaikan oleh siswanya.
Hal ini
menimbulkan pengertian salah tentang guru, sehingga guru yang menghindari
situasi ini dengan tidak mau mengakui kesalahannya atau ketidaktahuannya.
Sesungguhnya guru
adalah manusia biasa. Guru sejati bukanlah makhluk yang berbeda dengan
siswa-siswanya. Ia bukan makhluk yang serba hebat. Ia harus dapat
berpartisipasi didalam semua kegiatan yang dilakukan oleh para siswanya dan
dapat mengembangkan rasa persahabatan secara pribadi dengan siswa-siswanya dan
tidak perlu merasa kehilangan kehormatan karenanya. Rasa was-was, takut dalam
keadaan tertentu adalah hal yang wajar.
d.
Aplikasi
Psikologi Humanistik pada Pendidikan
Guru-guru
cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan, pertanggung
jawaban sosial, dan bahan pengajaran khusus. Mereka percaya bahwa masalah ini
tak dapat diserahkan begitu saja pada siswa. Pada tipe ini, guru memberi
tekanan akan perlunya sesuatu rencana pelajaran yang telah disiapkan dengan
baik, materi yang disusun dengan logis, dan tujuan intruksional yang tertentu,
dan mereka mempunyai kecenderungan untuk “memperoleh jawaban yang benar”. Guru
senang pada suatu pendekatan sistematik yang memanfaatkan pengetahuan hasil
penelitian pada kondisi-kondisi belajar yang diperlukan bagi siswa untu
mencapai hasil yang telah ditentukan.
Pendekatan
humanistik diikhtisarkan sebgai berikut :
1.
Siswa akan maju menurut iramanya
sendiri dengan suatu perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai
suatu perangkat tujuan yang telah ditentukan pula dan para siswa bebas
menentukan cara mereka sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri.
2.
Pendidik aliran humanistik mempunai
perhatian yang murni dalam pengembangan anak-anak perbedaan-perbedaan individual.
3.
Ada perhatian yang kuat terhadap
pertumbuhan pribadi dan perkembangan siswa secara individual.
Selanjutnya
Gagne dan Briggs mengatakan pendekatan humanistik adalah perkembangan
nilai-nilai dani sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan
pengetahuan yang luas tentang sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir
produktif.
Pendekatan
sistim alternatif lain mungkin saja direncanakan sehingga siswa dapat memilih
salah satu rencana pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi
bermacam-macam tujuan beajar dan sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau
jenis pemecahan masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang akan di lakukan.
Pembatasan praktis dalam pemilihan hal-hal itu munkin ditentukan oleh
keterbatasan bahan-bahan pelajaran dan keadaan, tetapi dalam pendekatan sistem
itu sendiri tidak ada yang membatasi keanekaragaman perencanaan pendidikan ini.
e.
Aliran Teori
Humanistik
Bagi para
penganut teori ini, proses belajar harus
berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori humanistik termasuk teori
yang abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Meskipun teori
ini sangat menekankan pentingnya”isi” dari proses belajar, dalam kenyataan
teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dalam proses belajar dalam
bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide
belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya,
seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini
bersifat elektil. Teori apa pun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk
“memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu) dapat
tercapai.
Dalam praktik,
teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel
(1968) yang disebut “belajar bermakna”. Teori ini juga terwujud dalam teori
Bloom dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, empat pakar lain
yang juga termasuk ke dalam buku teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford,
serta Habermas, yang masing-masing pendapatnya akan dibahass berikut ini.
1.
Bloom dan Khatwool
Dalam
hal ini Bloom dan Khatwool menunjukan apa yang memungkinkan dikuasai
(dipelajari) oleh siswa, yang tercakup
dalam tiga kawasan.
2.
Kolb
Sementara
itu, seorang ahli lain bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahapan.
a.
Tahap dalam proses belajar.
b.
Tahap obserfasi.
c.
Tahap membuat teori.
d.
Tahap experimen aktif.
3.
Honey dan Mumfrod
Berdasarkan
teori Kolb ini, Honey dan Mumfrod membuat penggolongan siswa. Menurut
mereka ada empat macam tipe siswa, yakni :
1.
Aktifis.
2.
Reflektor.
3.
Teoris.
4.
Pragmatis.
Ciri siswa yang
bertipe aktrivis adalah mereka yang suka melibatkan diri mereka dengan
pengalaman-pengalaman mereka yang baru. Mereka cenderung berfikir terbuka dan
mudah diajak berdialog. Namun, siswa semacam ini biasanya kurang skeptis
terhadap sesuatu.
Untuk siswa
yang bertipe reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati dalam
mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung
lebih suka menimbeng-nimbang secara cermat, baik atau buruk krputusan itu.
4.
Habermas
Ahli
psikolog lain adalah Habernas yang dalam pandangannya belajar sangat
dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama
manusia. Dengan asumsi ini, Habernas mengelompokan tipe belajar menjadi tiga
bagian, yaitu:
1.
Belajar teknis
Siswa belajar
bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan
mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan itu.
2.
Belajar praktis
Siswa juga
belajar berinteraksi, tetapi pada tahapan ini tapi yang lebih diutamakan dalam
interaksi ini adalah antara dirinya dan orang-orang disekelilingnya.
3.
Beajar emansipantoris
Siswa berusaha
mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi)
kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habernas, pemahaman dan kesadaran terhadap
transformasi kultural dianggap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi
kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
KESIMPULAN
Perhatian
psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana tiap-tiap
individual dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka
hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik
aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan
perasaan dan perhatian siswa.
Tujuan utama
para pendidik ialah membantu para si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu untuk mengenal dirinya mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri.
Bagi para
penganut teori ini, proses belajar harus
berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori humanistik termasuk teori
yang abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat dari pada dunia pendidikan.
Meskipun teori
ini sangat menekankan pentingnya”isi” dari proses belajar, dalam kenyataan
teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dalam proses belajar dalam
bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide
belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya,
seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini
bersifat elektil. Teori apa pun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk
“memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya itu) dapat
tercapai
DAFTAR PUSTAKA
Uno, Hamzah. 2006. Orientasi baru dalam psikologi pembelajaran.
Jakarta : PT Bumi Aksara
Soemanto , wasty. 1998. Psikologi pendidikan. Jakarta : PT
Rineka cipta
Walgito, bimo. 2004. Pengantar psikologi umum. Y
Tidak ada komentar:
Posting Komentar