Selasa, 12 November 2013

PERKEMBANGA JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT

MAKALAH
PERKEMBANGA JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu: Muh. Badaruddin, M.Pd.I




Disusun oleh Kelompok IV:
Febrian Fristianda (1283021)
Laela Fitri (1283611)
Siti Nuraini (1284651)

Kelas/Semester: A/III (Tiga)
Pendidikan Agama Islam
Jurusan Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2013



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
            Alhamdulillahirabil ‘alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas kelompok yang berjudul “PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ORANG DEWASA DAN USIA LANJUT”  tanpa suatu halangan apapun.
            Terima kasih penyusun ucapkan kepada Bapak Muh. Badarudin, M.Pd. I selaku dosen PSIKOLOGI AGAMA, yang telah memberikan pengarahaan dan bimbingannya sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Dan tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesainya tugas ini. Penyusun berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pemmbaca umumnya.
            Sekalipun demikian tak ada gading yang tak retak, begitu pula makalah ini jauh dari kesempurnaan, dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa penyusun harapkan.
            Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam pembelajaran, dan semoga Allah selalu meridhoi setiap langkah kita. Amin...!!!
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


                                                                                                Penyusun        

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
A.    Macam-Macam Kebutuhan.................................................................. 2
B.     Sikap Keberagamaan Terhadap Orang Dewasa................................... 9
C.     Manusia Usia Lanjut dan Agama......................................................... 12
D.    Perlakuan Terhadap Usia Lanjut Menurut Islam.................................. 14
BAB III KESIMPULAN................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

            Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Disebut sebagai makhluk potensial karena, pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dpat dikembangkan.
            Manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Karena itu, bimbingan yang idak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangan manusia.
            Jiwa keagamaan yang termasuk rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan aspek fisik. Dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa kesehatan fisik akan berpengaruh pada kesehatan mental. Selain itu, perkembangan juga ditentukan oleh tingkat usia.
            Para ahli psikologi perkembangan membagi perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara garis besarnya periode perkembangan itu terbagi menjadi: 1) masaprental; 2) masa bayi; 3)masa kanak-kanak; 4)masa prapubertas; 5)masa pubertas (remaja); 6) masa dewasa; 7)masa usia lanjut.
            Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tesebut, maka dalam kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    MACAM-MACAM KEBUTUHAN
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Krimini Drs. Gerson W. Bawengan, S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan mausia berdasarkan pembagian yang dikemukakan oleh J.P. Guilford sebagai brikut:
1.      Kebutuhan Individual
a.       Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian diri denganlingkungan. Dengan adanya perimbangan ini maka tubuh akan tetap berada dalam keadaan mantap, stabil, dan harmonis. Kebutuhan inimeliputi kebutuhan tubuh akan zat, protei, air, garam, mineral, vitamin, oksigen, dan lainnya.
b.      Regulasi temperatur, yaitu penyesuaian tubuh dala uaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperatur badan.
c.       Tidur, yaitu kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala halusinasi.
d.      Lapar, yaitu kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisik maupu mental.
e.       Seks, yaitu kebutuhanseks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari golongan mempertahankan jenis. Sigmund Freud menganggap kebutuhan ini sebagaikebutuhan vital pada manusia. Terutama pada masa remaja kebutuhan ini demikian menonjolnya sehingga serng mendatangkan pengaruh-pengaruh negatif.[1] Tidak terpenuhinya kebutuhan seks ini akan mendatangkan gangguan-gangguan kejiwaan dalam bentuk perilaku seksual yang menyimpang (abnormal) seperti:

1)      Sadisme, berarti kekejaman, kebuasan, keganasan, dan kekasaran, atau kepuasan yang diperoleh dengan menyakiti orang lain
2)      Masochisme (masokisme), perilaku seksual menyimpang, dimana kegairahan dan kenikmatan seksual anya dapat dicapai melalui perlakuan kekerasan dan penghinaan dari orang yang lebih perkasa
3)      Exhibitionisme, .........., pemilihan ratu kecantikan, binaragawan, striptease, dan sebagainya
4)      Scopthopilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengintip lakon seks
5)      Voyeurisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengintip atau melihat bentuk tubuh tanpa busana
6)      Troilisme atau triolisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara saling mempertontonkan lakon seks
7)      Transvestisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara memakai baju lawan jenisnya
8)      Transsexualisme,kecenderungan pemuasan nafsu seksual dengan jalan ganti kelamin
9)      Sexualoralisme, pemuasan nafsu seksual dengan memadukan mulut (oral) dengan alat kelamin. Pada laki-laki disebut fellato dan pada wanita disebut cunnilingus
10)  Sodomy (non/vaginal coitus),  istilah dalam Islam dikenal dengan liwath[2]
Selanjutnya, kelainan seksual ini pun dapat menyebabkan orang memuaskan nafsu seksualnya dengan menggunakan objek lain. Di antaranya meliputi:
1)      Hooseksualitas, peuasan nafsu seksual antara sesama laki-aki. Sesama perempuan disebut lesbian
2)      Pedophilia, pemuasan nafsu seksual dengan anak-anak sebagai objeknya. Menurut penyelidik kelainan ini sering dilakukan oleh yang berusia di atas 40 tahun dan patuh dengan ajaran agama
3)      Bestility, persetubuhan dengan binatang
4)      Zoophlia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengelus-elus binatang
5)      Necrophilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengadakan hubungan kelamin dengan mayat
6)      Pornography, pemuasan nafsu seksual dengan melihat gambar atau membaca buku cabul
7)      Obscenity, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengeluaran kata-kata kotor
8)      Fetishisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan simbol seks dari lawan jenisnya, terutama pakaian
9)      Frottage, pemuasan nafsu seksual dengan cara meraba orang yang disenangi
10)   Soliromanis, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengotori lambang seks orang yang disenanginya
11)   Goronto seksuality, pemuaan nafsu seksual dengan wanita yang berusia lanjut dan sebaliknya
12)  Insest, pemuasan nafsu seksual dengan mengadakan hubungan kelamin dengan kerabat
13)  Wife-wapping, pemuasan nafsu seksual dengan cara menukarkan pasangan
14)  Mysophilia, pemuasan nafsu seksual dengan menggunakan benda kotor karena menganggapnya sebagai hal yang kotor dan dosa
15)  Masturbasi, pemuasan nafsu seksual dengan zina tangan[3]

f.       Melarikn diri, yaitukebutuhan manusia akan perlindungan, keselamatan jasmani, dan rohani. Usaha menghindari diri dari bahaya atau sesuatu yang dianggap berbahaya merupakan reaksi yang wajar sebagai usaha proteksi.
g.      Pencegahan, yaitu kebutuhan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri.
h.      Ingin tahu (curiosty), yaitu kebutuhan rohani manusia untuk ingin selalu mengetehui latar belakang kehidupannya.
i.        Humor, yaitu kebutuhan manusia untuk mengendorkan beban keidupan yang  dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan. Menurut penelitian, penggunaan kemampuan maksimal manusia dalam kegiatannya hanya mencapai 30% saja. Menurut J.P. Guilford, tertawa merupakan permainan dan cara untuk mengendorkan tekanan jiwa. Sigmug Freud membagi humor atas: pertama, Agresive Wit yaitu humor yang menyinggung orang lain. Kedua, Harmsless Wit yaitu humor yang tidak menyinggung orang lain.[4]

2.      Kebutuhan Sosial
Kebutuhan manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar (stimulus), seperti layaknya pada binatang. Kebutuhan sosial pada manusia bebentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohaniah.
Bentuk kebutuhan ini menurut Guilford terdiri dari:
a.       Pujian dan hinaan
Setiap manusia normal membutuhkan pujian dan hinaan. Kedua unsur ini menurut Guildford merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan sistem moral manusia. Pujian merangsang manusia untuk mengejar prestasi dan kedudukan yang terpuji, sedangkan hinaan menyadari manusia dari kekeliruan dan pelanggaran terhadap etika sosial.
b.      Kekuasaan dan mengalah
Alfred Alder mengatakan, bahwa secara naluriah manusia itu ingin berkuasa dan Nietrzche menyebutkan sebagai motif primer dalam kehidupan manusa. Sedangkan Guildford berpendapat bahwa kebutuhan kekuasaan dan megalah ini tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tak henti-hentinya dalam kehidupan.[5]
c.       Pergaulan
Kebutuhan yangmendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai homo-socius (makhluk bermsyarakat) dan zon-politicion (makhluk yang berorganisasi).
d.      Imitasi dan simpati
Keutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam bentuk meniru dan mengadakan respon emosionil.
e.       Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan sosial yang terdapat pada setiap individu. Besar kecilnya perhatian masyarakat terhadap seseorang akan mempengaruhi sikapnya. Hal ini akan tampak dalam kehidupan sehai-hari, misalnya guru dimuka kelas, penceramah ataupun pemuka aliran keagamaan, kebatinan, para artis panggung, dan sebagainya. Sikap perhatian khalayak akan mempengaruhi sikap mereka. Dalam hal ini Guildford mengungkapkan pentingnya perhatian sebagai suatu kebutuhan dengan kata-katanya : to be ignored is panful.[6]

Selanjutnya Dr. Zakiyah Dradjat dalam bukunya Peranan Agama dalam Kesehatan Mental membag kebutuhan manusia atas dua kebutuhan pokok, yaitu:
a.       Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah, kebutuhan ini didapat manusia secara fitrah tanpa dipelajari. Misalnya: makan, mnum, seks, dan sebagainya.
b.      Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan rohaniah, kebutuhan ini hanya terdapat pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia asih kecil. Misalnya: jiwa dan sosial.
Selanjutnya beliau membagi kebutuhan sekunder yang pokok menjadi enam macam, yaitu:
a.       Kebutuhan akan rasa kasih sayang
b.      Kebutuhan akan rasa aman
c.       Kebutuhan akan rasa harga diri
d.      Kebutuhan akan rasa bebas
e.       Kebutuhan akan rasa sukses
f.       Kebutuhan akan rasa ingin tahu[7]

3.      Kebutuhan Manusia akan Agama
Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Ahmad Yani mengemukakan, bahwa tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa binging dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa takut terhadap kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong insan tadi untuk mencari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya disaat-saat yang gawat. Insan primitif telah menemukan apa yang telah dicarinya pada gejala alam itu sendiri. Secara beransur dan silih berganti gejala-gejala alam itu diselaraskan dengan jalan kehidupannya. Dengan demikian, timbullah penyembuhan tehadap api, matahari, bulan atau benda lainnya dari gejala-gejala alam tersebut.
Menurut Robert Nuttin, dorongan beragaa merupakan salah satu doronga yang bekerja pada diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya, seperti: makan, minum, intelek, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu maka dorongan beragama pun menuntut unutk dipenuhi, sehingga pribadi manusia itu mendapat kepuaan dan kesenangan. Selain itu dorongan beragama juga merupakan keutuhan insaniah yang tumbunya dari berbagai faktor penyebab yang bersumber dari rasa keagamaan.
Para ahli psikologi agama belum sependapat dengan sumber rasa keagamaan ini. Rodolf Otto misalnya, menekankan pada dominasi rasa ketergantungan, sedangkan Sigmund Freud menekankan libido sexuil dan rasa berdosa sebagai faktor penyebab yang dominan.[8]
Dalam ajaran agama Islam, bahwa kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia sebagai makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap agama.
Prof. Dr. Hasan Langgulung mengatakan:
“Salah satu fitrah inilah, bahwa manusia meneria Allah sebagai Tuhan, dengan kata lain, manusia itu adalah dari asal mempunyai kecenderungan beragama, sebab agama itu sebagian dari fitrah-Nya”.
            Dengan demikian, anak yang baru lahir sudah memiliki potensi untuk menjadi manusia yang ber-Tuhan. Fiman Allah SWT dalam Q.S. Al-Rum 30:30, yang artinya:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). Tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya” (Q.S. Al-Rum 30: 30)[9]

B.     SIKAP KEBERAGAMAAN TERHADAP ORANG DEWASA
Akhir masa remaja ditandai dengan masa adolesen, namun demikian ada juga yang memasukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa. Pada masa adolesen, seseorang mulai menginjak dewasa, sehingga memiliki sifat yang pada umumnya adalah sebagai berikut:
1.      Menemukan pribadinya
2.      Menentukan cita-citanya
3.      Menggariskan jalan hidupnya
4.      Bertanggung jawab
5.      Menghimpun norma-norma sendiri
Sikap-sikap di atas merupakan sikap yang mengawali masa dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya pada masa dewasa seseorang telah menunjukkan kematangan jasmani dan rohani, sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap, serta peran sosial sudah berkembang. Tanggung jawab individu dan sosial sudah mulai tampak dan ia sudah mulai mampu berdiri sendiri.
Gambaran psikis pada masa dewasa seperti di atas akan nampak pada kestabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup atau agama yang harus dianutnya berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang dianggap benar dan diperlukan dalam hidupnya.[10]
Charlotte Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode prapubertas, periode pubertas, dan periode adolesen dengan semboyan yang merupakan ungkapan batinmereka. Di periode prapubertas Charlotte Buchler dengan kata-kata: “Perasaan saya tidak enak, tetapi tidak tahu apa sebabnya.” Untuk periode pubertas dilukiskannya sebagai berikut: “Saya ingin sesuatu, tetapi tidak tahu ingin apa.” Adapun dalam periode Adolesen, ia mngemukakan dengan katakata: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa.”
Kata-kata yang digunakan Charlotte Buchler tersebut mengungkapkan betapa masih labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang remaja dan di usia remaja mereka. Sebaliknya, saat telah menginjak usia dewasa erlihat adanya kemantapa jiwa mereka: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa.”[11]
Kata yang digunakan tersebut menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan perkataan lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang sudah dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nlai yang dipilihnya. Orang dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap yang terlihat dengan cara bertindak dan bertingah laku yang agak bersifat tetap (tidak berubah-ubah), serta pemikiran terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas. Sekarang mereka mulai berpikir tentang tanggung jawab dan sosial moral, ekonomis dan keagamaan (M. Buchori, 1982: 145).[12]
Kemantapan orang dewasa ini setidaknya memberikan gabaran tentang bagaimna sikap keberagamaan orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap sistem nilai yang dipilinya, baik sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbanganpemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika pun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah didasarkan atas pertimbngan yang matang.
Sebaliknya, ika seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai nonagama, itupun akan dipertahankannya sebagai pandangan hidupnya. Kemungkinan ini memberkan peluang bagi munculnya kecenderungan sikap yang antiagama, bila menurut pertimbangan akal sehat, terdapat kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajarn agama yang dipahaminya.[13]
Sebaliknya, jika nilai-nilai agama yang mereka pilih dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka secara mantap menjalankan ajaran agama yang mreka anut.
Sejalan dengan tingkat perkembngan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang mantang, bukan sekedar ikut-ikutan
2.      Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku
3.      Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan
4.      Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan sikap realisasi dari sikap hidup
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan lebih luas
6.      Berskap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani
7.      Sikap keberagamaan cenderung megarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlhat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya
8.      Terlibat adanya hubungan antara sikap keberagamaan antara kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepeningan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang[14]
Dengan demikian, agama orang dewasa seara umum sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.      Faktor hereditas dan asal usul keluaganya sendiri
2.      Asal usul keluarga suami/istri serta kondisi keberagamaan keluarga yang dibangunnya sekarang
3.      Pendidikan formal maupun nonformal yang pernah dialaminya
4.      Pengalaman hidup, baik maa lalu maupun sekarang
5.      Lingkungan hidup, baik maa lalu maupun sekarang
6.      Pekerjaan
7.      Pergaulan baik dilingkungan masyarakat sekitar maupun lingkungan kerja
8.      Hail olah pikir, motivasi, inovasi serta olah perasaan (batin) yang
9.      Pengaruh media cetak maupun elektronik yang mereka terima selama ini
10.  Fakor hidayah dari Allah SWT[15]

C.    MANUSIA USIA LANJUT DAN AGAMA
Perkembangan manusia dapat digambarkan dalam bentuk garis sisi sebuah trapesium. Sejak usia bayi hingga mencapai kedewasaan jasmani digambakan dengan garis miring menanjak. Garis itu menggambarkan bahwa selama periode tersebut terjadi proses perkembangan yang progresif. Pertumbuhan fisik berjalan seara cepat hingga mencapai titik puncak perkembangannya, yaitu usia dewasa (22-24 tahun).
Perkembangan selanjutnya digambarkan oleh garis lurus sebagai gambaran tehadap kemantapan fisik yang sudah dicapai. Sejak mencapai usia kedewasaan hingga ke usia 50 tahun, perkembangan fisik manusia boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang banyak. Oleh karena itu, umumnya garis perkembangan pada periode ini digambarkan oleh gais menurun. Periode ini disebut sebagai periode regresi (penurunan).[16]
Hurlock (1999) menyatakan bahwa usia lanjut lebih cenderung pada hal-hal yang tidak menyenangkan dan hal ini dapat berimbas pada beberapa aspek penurunan fisik atau psikis. Sehingga tidak sedikit orang usia lanjut yang menjadi cerewet dan serba salah. Hal ini tergantung dari masing-masing individu bagaimana dia megontrol dirinya dalam melewati masa labil, masa dimana terdapat hal-hal yang tidak menyenangkan. Sehingga dibutuhkan tawakal yang baik serta tingkat kontroldiri yang tinggi agar individu tidak terjerumus pada hal-hal negatif yang membawa pada tekanan mental.[17]
Secara garis besarnya, ciri-ciri keberagaman di usia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemanapan
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta akan sesama manusia, serta sifat-sifat luhur
5.      Timbul rasa takut kepada kematian meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjut
6.      Perasaan takut terhadap kematian ini berdampak kepada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi akhirat[18]

Berdasarkan ciri-ciri di atas, terdapat tiga kegiatan keagamaan yang bisa menjadi terapi religius bagi para lanjut usia sekaligus untuk menyetabilkan kontrol dalam dirinya. Hal ini merujuk kepada sebuah hasil penelitian tentang korelasi zikir dengan kontrol diri pada para lanjut usia yang dilakukan di Pondok Pesantren Roudhotul Ulum Kencong Pare Kediri, yaitu:
1.      Teknik puasa, dalam konteks terapi “puasa” yang berarti pengendalian diri dapat diterapkan untuk mengembangkan kontrol diri terhadap suatu jenis nafsu tertentu
2.      Teknik paradoks, tekn ini dilakukan untuk menumbukan kontrol diri terhadap hal-hal yang sangat disukai seseorang. Tujuannya agar seseorang mampu mengendalikan suatu keinginan dengan cara melawan keinginan tersebut
3.      Teknik dzikirullah, teknik ini dilakukan dengan cara mengingat nikmat Allah dan atau menyebut lafadz-lafadz Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih dan bertaqdist agar tercipta ketenangan pada dirinya.
Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Ra’du ayat 28, yaitu:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ  
Artinya:
“(Yaitu) oramg-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah . Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S.Al-Ra’du: 28)[19]

D.    PERLAKUAN TERHADAP USIA LANJUT MENURUT ISLAM
Agama Islam adalah agama yang sempurna, segala sesuatunya diatur secara sistematis sehingga tidak memberatkan umat manusia. Islam juga mengatur bagaimana sebaiknya memperlakukan para usia lanjut, Allah berfirman :
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ  
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ib bapakmu dengan sebaik-baiknya.jika salah seorang di antara keduanya aau kedua-duanya sampai brumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekli-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al-Israa’: 23)[20]
Manusia usia lanjut dalam penilaian terhadap banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sis-sisa umur menunggu datangnya kematian.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah peratian mengalami perubahan yang mendasar. Bla sebelumya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini, prhatian lebih tertuju pada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-msalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.[21]
Bila gejolak batin itu tak mampu dibatasi, maka akan muncul gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa maupun mengasingkan diri dari pergaulan sebagai wujud dari rasa rendah diri (inferiority). Dalam kasus-kasus seperti ini, umunya agama dapat difumgsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab, melalui pengalaman pengajaran agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempa bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensin seperti ini sudah jamak terlhat di masyarakat akhir-akhir ini.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orag tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua berusia lanjut tetap berada dilingkungan keluarga cenderung dianggap menelantarkannya.
Lain halnya konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadp orang tua berusia lanjut dibebankan kepada anakanak mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntutan Islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerinahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.[22]
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua, Allah menyatakan:
ö/ä3š/§ ÞOn=÷ær& $yJÎ/ Îû ö/ä3ÅqàÿçR 4 bÎ) (#qçRqä3s? tûüÅsÎ=»|¹ ¼çm¯RÎ*sù tb%Ÿ2 šúüÎ/º¨rF|Ï9 #Yqàÿxî ÇËÎÈ  
Artinya:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya samapai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S. Al-Israa’: 25)
            Selanjutnya Al-Qur’an melukiskan perlakuan terhadap orang tua:
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ  
Artinya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayagan dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihiku dan mendidikku waktu kecil.”(Q.S. AlIsraa’: 24)
            Sebagi gambaran tentang hal itu adalah pernyataan Aisyah ra. tentang bagaimana perilaku anak terhadap orang tua, adalah dialog Rsulullah SAW kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu? Orang itumenjawab: “Ayahku”. Beliau berkata: “Jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan bebuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya.” (Toha Abdullah Al-Affi, 1987: 51)
            Seanjutnya firman Allah yang menyatakan:
“Kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil”[23]
            Islam mengajarkan bahwa dalam perkembangannya, manusia mengalami penurunan kemampuan sejalan dengan pertambahan usia mereka.
`tBur çnöÏdJyèœR çmó¡Åe6uZçR Îû È,ù=sƒø:$# ( Ÿxsùr& tbqè=É)÷ètƒ ÇÏÑÈ  
Artinya:
“Barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka  tidak memikirkannya.” (Q.S. Yasin: 68)
            Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya dikemukakan, bahwa maksud kami kembalikan kepada kejadiannya, yaitu dikembalikan kepada keadaan manusia ketika ia baru dilahirkan, aitu lemah fisik dan kurang akal (Al-Qur’an dan terjemahannya, 1971: 731).[24]
            Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usai lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penu kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun,melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka.
            Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang durhaka bila seorang anak menempatkan orang tuanya ditempat penampungan atau panti jompo. Alasan apa pun tak dapat diteima bagi perlakuan itu.[25]












BAB III
KESIMPULAN

            Dari penjelasan materi di atas tentang perkembangan jiwa keagamaan pada orang dewasa dan usia lanjut, penyusun dapat menyimpulkan:
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Krimini Drs. Gerson W. Bawengan, S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan mausia berdasarkan pembagian yang dikemukakan oleh J.P. Guilford sebagai brikut:
1.      Kebutuhan indivdual
2.      Kebutuhan sosial
3.      Kebutuhan manusia akan agama
Akhir masa remaja ditandai dengan masa adolesen, namun demikian ada juga yang memasukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa. Pada masa adolesen, seseorang mulai menginjak dewasa, sehingga memiliki sifat yang pada umumnya adalah sebagai berikut:
6.      Menemukan pribadinya
7.      Menentukan cita-citanya
8.      Menggariskan jalan hidupnya
9.      Bertanggung jawab
10.  Menghimpun norma-norma sendiri
Sejalan dengan tingkat perkembngan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memliki ciri-ciri sebagai berikut:
9.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang mantang, bukan sekedar ikut-ikutan
10.  Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku
11.  Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan
12.  Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan sikap realisasi dari sikap hidup
13.  Bersikap lebih terbuka dan wawasan lebih luas
14.  Berskap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani
15.  Sikap keberagamaan cenderung megarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlhat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya
16.  Terlibat adanya hubungan antara sikap keberagamaan antara kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepeningan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang
Hurlock (1999) menyatakan bahwa usia lanjut lebih cenderung pada hal-hal yang tidak menyenangkan dan hal ini dapat berimbas pada beberapa aspek penurunan fisik atau psikis. Sehingga tidak sedikit orang usia lanjut yang menjadi cerewet dan serba salah. Hal ini tergantung dari masing-masing individu bagaimana dia megontrol dirinya dalam melewati masa labil, masa dimana terdapat hal-hal yang tidak menyenangkan. Sehingga dibutuhkan tawakal yang baik serta tingkat kontroldiri yang tinggi agar individu tidak terjerumus pada hal-hal negatif yang membawa pada tekanan mental.[26]
Secara garis besarnya, ciri-ciri keberagaman di usia lanjut adalah:
7.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemanapan
8.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan
9.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh
10.  Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta akan sesama manusia, serta sifat-sifat luhur
11.  Timbul rasa takut kepada kematian meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjut
12.  Perasaan takut terhadap kematian ini berdampak kepada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi akhirat
Manusia usia lanjut dalam penilaian terhadap banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sis-sisa umur menunggu datangnya kematian.
            Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usai lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penu kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun,melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka.
            Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang durhaka bila seorang anak menempatkan orang tuanya ditempat penampungan atau panti jompo. Alasan apa pun tak dapat diteima bagi perlakuan itu.



[1] Prof. Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 86-87.
[2] Ibid., hal. 87-88.
[3] Ibid., hal. 88-90.
[4] Ibid., hal. 96-97.
[5] Ibid., hal. 98-99.
[6] Ibid.,
[7] Ibid., hal. 100-101.
[8] Ibid., hal. 101-103.
[9] Ibid.,
[10] Prof. Dr. Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Radar Jaya, 2009, hal. 104.
[11] Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 106.
[12] Dr. Baharudin, dkk., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hal. 151.
[13] Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 107.
[14] Ibid., hal. 107-109.
[15] Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hal. 153-154.
[16] Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 109.
[17] Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hal. 161-162.
[18] Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 113-114.
[19] Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hal. 163-164.
[20] Ibid., hal. 165.
[21] Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 114-115.
[22] Ibid., hal. 117-118.
[23] Ibid., hal. 118-119.
[24] Ibid., hal. 120.
[25] Ibid., hal. 121.
[26] Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hal. 161-162.



DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, dkk, Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Malang: UIN
Malang Press, 2008.
Jalaluddin, Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Ramayulis, Psikologi Agama. Jakarta: Radar Jaya, 2009.

4 komentar:

  1. trimakasih sangat membantu dlm menyusun makalah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas kunjungannya, semoga bermanfaat. ��

      Hapus
  2. Wahh... Sub materinya sama banget 😁
    Bisa ctl+A Ctrl+C ctrl+V dong 😂👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas kunjungannya kak 😇
      Semoga bisa bermanfaat. 🙏

      Hapus